Tokoh pertama adalah pemilik IPK kedua tertinggi se-UI pada saat saya wisuda (2011).
Enrico Budianto, mahasiswa tipikal anak soleh alumni SMAN 8 Jakarta ini adalah targetan
bully saya terutama tentang sekolah kebanjiran. Dia termasuk yang saya jadikan rival masalah akademis. Alasannya
simpel, Enrico adalah batas atas yang masih mungkin saya kejar (pede amat ya, padahal mah jauh).
Klo kuliah duduk dekat Enrico (biasanya dia duduk di depan), siapa tahu ketularan
pinter. Namun kaidah "posisi menentukan prestasi" tak selalu benar, ada banyak faktor yang membuat seseorang berprestasi. Kata salah seorang dosen saya "Sering kali orang Indonesia itu hanya melihat hasil dan lupa akan proses", hal ini benar-benar terjadi ketika saya mengamati pribadi yang satu ini.
|
Terlihat saya sedang sinis memandang rival saya dari jauh saat rapat penutupan kepanitiaan PMB 09 (kok mukanya pada random?!) |
Contoh kasusnya adalah salah satu mata kuliah kami memperbolehkan pembuatan catatan tulis tangan (notes) untuk membantu mengingat-ingat teori (dengan dibaca) ketika UTS ataupun UAS dengan batas halaman tertentu (biasanya 2 sampai 4 halaman) ukuran A4. Nah! Klo saya paling malas bikin notes, karena yang saya pahami namanya belajar itu untuk paham dan kemudian bisa menceritakan ke orang lain tentang sesuatu teori tanpa harus menghapal. Berbeda dengan Enrico, dia menyalin semua slide materi kuliah ke notes tanpa terlewat dari kuliah pertama sampai terakhir, satu atau dua hari sebelum ujian dengan ukuran font super kecil supaya muat di notes. Tentu saja ditukar dengan jam tidurnya di malam hari. Klo ditanya kenapa, alasannya normatif "Gw belum terlalu ngerti Jar, jadi gw catet semua". Dalam hati "gw tau kok lw ngerti, bahkan jauh lebih ngerti dari gw -_-".
Tak heran usaha-usaha luar biasa Enrico lainnya yang membutuhkan pertukaran dengan jam tidur bahkan jam makan telah mengantarkannya menjadi si IPK kedua tertinggi di UI dari sekolah langganan banjir (masih aja di-bully :p). Kabar terbaru, Enrico yang sekarang sedang bekerja di Accenture (salah satu perusahaan konsultan yang gajinya bikin orang makmur) mendapat beasiswa Erasmus Mundus ke Eropa. Mendahului kami (sebagian kecil sekali Fasilkom 07) yang masih ngetem riset di lab sambil berburu beasiswa S2. Wajar sih keterima, high spec. people.
Enrico juga pernah bekerja dengan saya di DPM Fasilkom 2009 dan "berebut" dengan saya jadi ketua DPM Fasilkom 2010. Pernah menjadi Sun Campus Ambassador sekaligus Microsoft Student Partner (Semacam duta Microsoft gitulah). Hal yang paling saya ingat adalah Enrico tidak ragu untuk berbagi kebahagiaan jika sedang
dapet rejeki, klo gak salah hitung setidaknya saya sudah dua kali ditraktir. Salah satunya karena saya bilang "Klo IP lw 4 lagi semester ini traktir gw ya." dan dia bales "Ah sulit Jar, semester ini gw banyak yang gak sesuai ekspektasi, iya deh gw bakal lw traktir klo bener".
Duar! ~ sound effect di akhir semester saya pun ditraktir.
|
Ketika penganugrahan award "Ter-ima Kasih" pada penutupan PMB 09 |
Yap ini baru postingan pertama untuk
serial post berjudul "Saya Bukan". Saya akan berusaha menulis lagi tentang tokoh yang lain di kesempatan berikutnya, tetapi ada hal yang ingin saya sampaikan khususnya kepada diri saya sendiri dan umumnya bagi para pembaca (kayak pidato aja) pada
postingan pertama. Sehebat apa pun orang lain, kita bukanlah mereka dan jangan jadikan alasan untuk merasa diri paling sial. Masih banyak orang yang tidak lebih enak posisi kehidupannya dibandingkan dengan diri kita.
Tetaplah percaya bahwa Allah SWT punya rencana terbaik bagi setiap hamba-Nya yang tetap pantang menyerah dengan kemampuan yang ada. Tetaplah jadi orang baik.
Klo dulu kita jarang sholat sekarang jadi rajin, pertahankanlah.
Klo dulu kita agak begajulan, sekarang lebih tenang, pertahankanlah.
Klo dulu kita malas berubah menjadi Muslim seutuhnya sekarang mulai belajar Islam lebih dalam, pertahankanlah. Karena sungguh itu semua lebih berharga dari Bumi, Langit dan seisinya. :)