Matahari yang hangat menyambut datangnya
hari Sabtu, 10 November 2012. Pak Arif Pengajar Muda angkatan 3 penempatan
Majene berjalan dengan seluruh warga Tatibajo yang mengantarnya menuju jalan
Poros. Sebuah jalan raya trans-Sulawesi yang menghubungkan kota-kota di
Sulawesi Barat, termasuk Makassar, Mamuju dan tentu saja Majene. Jalan ini
akrab disebut sebagai “pinggir”oleh warga dusun. Jalan yang jika dilalui dari
Majene menuju Makassar memiliki tak sedikit lubang dan sedang diaspal ulang, akan
mengantar salah satu sarjana terbaik bangsa kembali ke kampung halamannya.
Pemandangan indah pegunungan mengiringi
perjalanan kami menuju ke pinggir. Angin sepoi sesekali menyapa warga yang
sedang mengantar salah satu keluarga mereka selama satu tahun terakhir. Jalan
bebatuan menjadi karpet merah yang bersaksi bahwa dalam waktu satu tahun banyak
yang telah ditinggalkan oleh Pengajar Muda tersebut, tak terkecuali kenangan di
dalam hati mereka. Sungai yang mengalir berbelok-belok seolah menonton iring-iringan
manusia yang sedang berjalan ke bawah melalui jalan setapak berbatas jurang dan
dinding pasir rawan longsor.
Dua belas bulan, bukan waktu yang terlalu
lama tetapi cukup untuk menjadikan seorang manusia sebagai pusat pergerakan
perubahan ke arah kebaikan di suatu daerah terpencil. Tempat Pengajian
Al-Qur’an, Buku Tabungan Siswa, Rajinnya anak-anak dusun sholat lima waktu, berhasilnya mereka mengkhatamkan (menamatkan)
bacaan Al-Quran, serta kekompakan orang tua dalam mengutus anaknya menuntut ilmu
di sekolah adalah bukti keberadaan dua Pengajar Muda sebelumnya di dusun
Tatibajo, desa Salutambung, kecamatan Ulumanda, provinsi Sulawesi Barat.
Langkah kaki semakin berat seiring dengan
jarak berkilo-kilometer yang kami tempuh perlahan dengan menurun dan mendaki
menuju pinggir. Tak terasa satu setengah jam kami lalui sampai akhirnya kami
tiba di pinggir. Semua masih bersuka cita pada saat itu, kecuali ibu angkat
kami (saya dan pengajar muda sebelumnya) yang sudah menangis sejak Pak Arif
atau yang lebih sering saya sapa dengan mas Arif menata pakaian dan
peralatannya ke dalam tas dan ransel yang akan ia bawa pulang. Sepanjang jalan
saya melakukan “pendekatan” kepada anak-anak dusun Tatibajo dengan mengajak
mereka menyanyikan lagu-lagu ceria.
Lagu yang pertama adalah lagu “Bermain
Lingkaran”, yang liriknya,
Ayo kawan kita bermain
lingkaran,
Mencari binatang yang
ada di hutan,
Binatang apakah itu?
binatang apakah itu?
Itu ular namanya
Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
(sembari kedua tangan dirapatkan dan menirukan cara ular
melata ke kanan ke kiri)
Sepanjang jalan aku meminta mereka
mengganti kata ular dengan kata yang lain, namun ternyata memang mereka masih
harus dibimbing untuk mencari contoh binatang yang akan ditirukan geraknya pada
lagu ini. Sesampai di pinggir kami masih harus berjalan ke rumah bu Haji, kakak
pertama dari ayah angkat kami yang rumahnya tak jauh dari tempat kami turun di
pinggir. Sekitar lima belas menit kami berjalan sebelum akhirnya sampai ke
rumah bu Haji. Sesampai di sana sudah ada guru-guru SDN Inp 27 Tatibajo yang
menanti untuk memberikan salam perpisahan. Namun tak lama kemudian Mas Arif
masih harus bertemu dengan Mbak Vivi, pengajar muda penempatan dusun Rura yang
letaknya tak jauh dari tempat kami jika ditempuh dengan sepeda motor.
Aku pun memutuskan untuk ikut bersama Mas
Arif ke Tabojo, sebuah warung di dekat pertigaan jalan menuju dusun Rura. Cepat
saja sampai kami sampai ke Tabojo. Tangis dan air mata sudah membanjiri mata
warga Rura karena harus melepas Mbak Vivi, guru anak-anak mereka dan keluarga
mereka selama satu tahun terakhir. Begitu pula ketika kami datang, beberapa
rekan meminta berfoto bersama Mas Arif dengan harapan mereka tidak saling lupa
satu sama lain setelah perpisahan yang terjadi hari ini.
Akhirnya kami pun kembali ke rumah Bu
Haji. Episode yang sama terjadi ketika kami bersiap membawa barang-barang masuk
ke dalam pete-pete (sebutan untuk angkutan
umum di Majene), tangisan anak-anak Tatibajo pun “meledak” dan rencanaku dengan
anak-anak untuk menyanyikan lagu perpisahan bagi Mas Arif gagal sudah. Bahkan
terjadi lebih dari yang kami bayangkan, ibu angkat kami pingsan di teras rumah
Bu Haji. Kami pun harus menunda keberangkatan sejenak dan Mas Arif membawa ibu
ke dalam rumah Bu Haji. Sapaan dan goyangan tangan mas Arif berusaha
membangunkan ibu dari ketidaksadaraannya. Warga sibuk ikut ingin melihat, “Tolong
mundur sedikit! Mundur sedikit! Beri ruang udara!” seruku yang hanya bisa
memperingatkan warga untuk memberikan ruang bagi ibu agar terdapat udara segar
yang cukup di sana.
Ibu pun akhirnya terbangun, terlihat Mas
Arif memberikan pengertian kepada Ibu agar dapat menenangkan Ibu yang sedang
terkulai lemas karena anaknya akan pergi ke pulau seberang. Sang pengajar muda ini pun berhasil
meyakinkan Ibu. Mas Arif pun naik ke pete-pete
dan lembaran perjuangan tentang pejuang yang baru pun akan segera dimulai.
Optimisme yang kugenggam dari Pengajar Muda sebelumnya menjadi pasak bagi tiang
perjalanan hidupku di dusun Tatibajo untuk mendidik anak-anak bangsa di dusun
ini menjadi pemimpin masa depan. Diantara mereka terdapat potensi yang aku
yakini akan membawa dusun ini kelak menjadi tempat yang lebih nyaman bagi
warganya.
Kini giliranku yang membantu mendidik dan menyadari mutiara-mutiara bangsa bahwa mereka punya peluang untuk bersinar dan menerangi sekitar mereka. Kini giliranku yang belajar dari kehidupan masyarakat melalui kehidupan akar rumput. Ada satu doa yang kupanjatkan kepada Sang Pemilik milyaran galaksi di alam semesta ini, yakni memohon aku bisa mendapatkan kekuatan dan petunjuk dari-Nya agar dapat memberikan yang terbaik dan belajar dari kehidupanku selama empat belas bulan ke depan. Sungguh aku yakin, fase hidupku kali ini merupakan salah satu fase yang memiliki banyak hikmah dan pelajaran hidup bagiku.
Cerita ini juga bisa dibaca di Website Indonesia Mengajar
Iringan warga dusun yang mengantar Mas Arif ke pinggir. |
Cerita ini juga bisa dibaca di Website Indonesia Mengajar