Pak Juki adalah seorang guru berumur 40 tahun, tidak terhitung muda,
tetapi juga belum terlalu tua. Pak Juki berasal dari Taukong, sebuah dusun yang
berada di gunung. Bukan sekedar gunung, perjalanan ke sana bisa memakan waktu
8-12 jam jika berjalan kaki, tergantung dari stamina sang pejalan kaki. Sekarang
pun, ketika jalan sudah ada dan orang ingin menggunakan motor menuju Taukong
harus dilakukan berdua, karena kondisi jalan yang meminta sang pembawa motor
untuk mendorong motornya sambil di-gas di beberapa titik perjalanan.
Sejak kecil Pak Juki memiliki keinginan belajar yang keras. Biasanya
anak-anak gunung yang rajin belajar ketika masuk SMP akan dikirim ke Malunda,
sebuah kecamatan yang berada di Jalan Raya Poros (Jalan Raya Trans-Sulawesi)
dan titipkan pada orang yang tinggal di sana untuk bersekolah. Hal seperti ini
pun dialami oleh Pak Juki, beliau merantau ke pinggir (sebutan lain untuk Jalan
Raya Poros) meninggalkan dusun dan tinggal bersama orang lain untuk menempuh
pendidikan di SMP.
Kini Pak Juki sudah mengenyam pendidikan hingga tamat S1 jurusan
Pendidikan Guru SD dan sudah 15 tahun Pak Juki mengajar di tingkat Sekolah Dasar
(SD). SDN 27 Tatibajo merupakan tempat Pak Juki bertugas saat ini, begitu pula dengan
saya. Saat ini beliau adalah wali kelas 6 sementara saya mengajar Matematika di
kelas 4,5, dan 6. Sebelum berada di Tatibajo, Pak Juki bekerja sebagai guru
Matematika di SDN 10 Salutambung. Empat SD telah disambangi oleh beliau, tiga diantaranya
adalah SD yang terletak di pinggir. Beberapa tahun terakhir Pak Juki sedang
mengalami sakit lambung yang cukup membuat beliau kerepotan. Hal ini
kemungkinkan disebabkan kesibukannya dalam bekerja yang sering membuatnya telat
makan. Bukan hanya kerja sebagai guru yang membuat Pak Juki memiliki kesibukan
yang tinggi, tetapi juga posisi sebagai bendahara penggajian guru sekecamatan
Malunda dan Ulumanda.
Penyakit pencernaan kerap kali menjadi “wabah” karena adanya budaya
memakan mi instan yang dengan air panas lalu diberikan bumbu. Mi di daerah
Mandar (sebutan untuk daerah Sulawesi Barat) telah dianggap seperti sayur.
Kalau tidak ada sayur menyiram mi pun jadi. Hipotesis saya sebagai orang awam
menganggap budaya inilah yang menyebabkan banyak orang yang pencernaannya
kurang sehat, karena seperti yang kita tahu jika mi hanya disiram akan masih
banyak bahan pengawet yang tertinggal di kuahnya dan termakan oleh konsumen
dari “masakan khas” Mandar tersebut.
Suatu saat sakit yang dimiliki oleh Pak Juki kambuh. Beberapa siswa di
kelas enam bersikeras untuk mengunjungi. Padahal mereka tahu bahwa untuk ke
rumah Pak Juki terletak di pinggir sehingga mereka harus berjalan sekitar 4 km
atau sekitar 1 jam 30 menit. Namun, hujan deras yang diselimuti hawa dingin
beberapa hari ini kerap mengunjungi dusun dan sepanjang jalan menuju jalan
Poros sehingga memaksa kami menunda keberangkatan sampai keadaan cuaca membaik.
Akhirnya di suatu sore yang lembab setelah hujan turun, saya dan tujuh orang
siswa berangkat menuju pinggir. Kami berangkat pukul 16:30 WITA.
Pemandangan pegunungan sore hari dikelilingi hutan lebat dan jurang
bersungai yang mengiringi sepanjang perjalanan kami menjadi suguhan perjalanan
yang jarang sekali dinikmati orang kota seperti saya. Stamina anak-anak gunung
memang tak pernah habis, 1 jam berlalu saya sudah mulai merasa ingin berhenti
sejenak dan menenggak beberapa teguk air segar. Namun apa daya, saya lupa bawa
air dan juga masih ingin menjaga imej bahwa
saya masih kuat jalan. Haha, itulah repotnya jadi guru, jadi banyak jaim. Air terjun yang mengalir kecil
akibat adanya hujan pada waktu sebelum kami berangkat turut menghiasi
perjalanan kami. Akhirnya sesuai perkiraan waktu perjalanan, kami pun tiba di
pinggir sekitar jam 18:00 WITA. Langit yang berwarna oranye, lampu-lampu rumah
yang mulai menyala, serta azan Maghrib menyambut kami di pinggir.
Kami pun mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Maghrib
berjamaah terlebih dahulu di masjid Ainul
Yaqin, sebuah masjid yang terletak di pinggir. Sekedar pengetahuan
tambahan, ada sebuah tantangan unik mengenai sanitasi di desa Salutambung, desa
yang menjadi tempat berkembanganya dusun Tatibajo. Biasanya sebagus apapun
masjid ataupun rumah belum tentu ada WC-nya. Termasuk di masjid ini. Padahal
gedung masjidnya tidaklah buruk. Jika ada sebuah rumah yang ada WC-nya itu
menandakan penghuninya adalah orang yang berpendidikan dan mengerti tentang
pentingnya sanitasi yang baik. Apalagi di dusun, jangan ditanya orang buang air
besar di mana, karena tak lain dan tak bukan hal tersebut dilakukan di WC
terpanjang yang pernah saya lihat selama hidup saya alias sungai.
“Allahu Akbar!” takbirotul ihrom
pun dikumandangkan sang Imam, saya dan anak-anak segera bergabung di barisan
makmum. Selepas sholat maghrib kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Pak
Juki. Rumah tersebut terletak sekitar 250 meter dari masjid tersebut. Sesampai
di sana kami pun melemparkan salam dari depan pintu rumah ke dalam rumah
“Assalamu’alaikum!” salam kami. Tak lama kemudian sesosok pria berbadan tidak
begitu tinggi pun keluar. Senyumnya menyimpul ketika melihat kami dan langsung
mempersilahkan kami untuk duduk di ruang tamunya. Sosok Pak Juki terlihat sudah
lebih sehat jika dibandingkan beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumahnya.
Pada saat itu wajahnya masih pucat, tetapi kini sudah terlihat lebih segar.
Setelah saya berjabat tangan dengan Pak Juki serta anak-anak
bergantian mencium tangan guru mereka, kami duduk di kursi ruang tamu. “Bagaimana
Pak kabarnya?” tanyaku membuka pembicaraan, “Alhamdulillah sudah lebih baik”
jawabnya. Sesaat kemudian istri dari Pak Juki yang juga seorang guru keluar
menyapa kami, “Oh, ada murid-muridnya Pak Juki, dari Tatibajo naik apa ki?” tanya Bu Juki dengan dialek
Makassar, “Kami berjalan kaki Bu” jawabku, “Wah jauh sekali itu, ya sudah kalau
begitu, bermalam saja”, setelah sejenak berpikir, aku mengangguk menyetujui
bermalam di sini karena murid-muridku pasti lelah dan tidak baik kembali ke
dusun dalam keadaan gelap dengan berjalan kaki.
Orang Mandar memiliki ciri khas yang menurut saya istimewa. Selama
berada di sini, kami para Pengajar Muda selalu disambut oleh masyarakat Mandar
dengan keramahan yang luar biasa. Mereka sangat senang ketika rumah mereka
dikunjungi oleh kami. Kunjungan ke rumah dalam bahasa di sini disebut dengan
“singgah”. Jika kami singgah hampir menjadi suatu keharusan kami harus makan
atau minimal minum di rumah tersebut. Termasuk di rumah Pak Juki, istri dari
Pak Juki langsung melesat ke dapur dan sepertinya melihat mengatur strategi
untuk menghidangkan makanan ke anak-anak gunung yang baru turun dari sarangnya.
Selepas adzan Isya, hindangan lengkap tersaji, ada ikan, mie goreng
(makanan “khas” mandar), telur dadar, tempe, dan bakwan. Tempe merupakan
makanan dengan kasta lebih tinggi daripada ayam, hal ini disebabkan masih
sangat jarang orang yang bisa membuat tempe di bumi mandar. Anak-anak pun makan
dengan lahapnya. Wajar saja penghasilan orang tua mereka tidak memungkinkan
mereka memakan makanan mewah seperti yang sedang mereka nikmati sekarang.
Setelah makan malam anak-anak asyik menonton TV. Ketiadaan listrik di dusun
mereka, membuat mereka selalu antusias ketika ada TV menyala. Inilah keindahan
silaturahim ala Mandar, bahagia itu sederhana bagi anak-anak gunung di bumi
Mandar. Menonton TV setelah makan malam menjadi hal mewah nan membahagiakan.
Anak gunung dan guru dari gunung menurut saya kombinasi yang
fantastis. Semoga semangat belajar sang guru dari gunung bisa menular ke
anak-anak ini. Semoga saya bisa mengejar mereka dan membantu guru mereka
semaksimal mungkin, sekaligus belajar pula dari kehidupan mereka. Ya, saya
hanyalah anak kota yang hidup di dunia yang sangat nyaman dan sekarang sedang
mencicipi kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya jalani, kehidupan sebagai
guru di gunung untuk anak-anak gunung yang penuh dengan bakat terpendam.
Sartika, Harianto, Aidin, Risma (Murid-murid kelas VI) sedang berpose di depan air terjun yang ada ketika baru selesai hujan di perjalanan ke Jalan Poros |
Saya dan murid-murid kelas VI di perjalanan menuju Jalan Poros. |
Berfoto di ruang tamu rumah Pak Juki. (Pak Juki sedang duduk di kursi memangku anaknya yang bernama Aco) |