Jumat, 24 Oktober 2014

Pindah Blog

Akhirnya saya memutuskan untuk pindah blog ke mfaffrodi.github.io
foto oleh meddygarnet

Read More

Sabtu, 21 Desember 2013

Semangat Canda

Bercanda. Ada kalanya kita harus bercanda. Lho kok? Ini adalah postingan penyemangat untuk penulis blog. Sekarang sudah jamannya jurnalisme positif. Yakni mengangkat cerita positif untuk memicu semangat orang lain untuk juga berkontribusi positif.

Semuanya berawal ketika saya mulai belajar untuk pribadi yang jujur minimal terhadap diri sendiri. Ternyata sulit. Kebaikan itu sulit dilakukan. Saya pun akhir-akhir ini menemukan bagaimana jadi pribadi baik yang tidak terlalu serius. Lho kok baik tidak serius? Bukan, tetapi belajar menjadi pribadi baik nan humoris. Pada akhirnya bercanda tanpa berbohong adalah cara efektif untuk menjadi pribadi yang baik namun tidak terlalu mempersulit diri sendiri. Bagaimana contohnya? Apa hubungannya dengan jurnalisme positif? Hehe, kalau Anda bertanya begitu berarti Anda terlalu serius. Caranya mudah tertawalah ketika ada hal yang lucu. Rekam di dalam kepala. Lalu ceritakan ke orang lain. Itu adalah cara menjadi pribadi yang lucu. Jangan terlalu dipikirkan, nanti lucunya tidak jadi. :p

Read More

Jumat, 11 Oktober 2013

Baik

Baik. Satu kata yang begitu mahal di saat ini. Kenapa? Karena banyak orang yang meniru, tiru kata baik tapi sebenarnya tidak. Cuma mau mengambil "kebaikan" untuk dirinya sendiri dengan meniru baik. Hehe. Merasa? Jangan tersinggung, saya juga merasa kok. Menangis di dalam hati, karena sering merasa jangan-jangan, saya termasuk di antara orang-orang yang sok sok-an baik. 

Tidak ada cerita tentang penempatan di post blog saya kali ini. Cuma tumpahan pemikiran lagi. Entah kenapa saya yakin, memang kita sedang berada di titik yang paling gelap dalam berkembangnya zaman. Tapi tahukah? Titik tergelap justru hadir sebelum titik terang itu perlahan datang. Ketika kebaikan menjadi barang yang mulai dirindukan banyak orang. Ketika orang-orang muak dengan kejahatan, kebohongan, dan kemunafikan yang terjadi pada diri dan sekitarnya.

Perlahan diri kita para generasi muda. Mulai terpanggil, mencari kebenaran yang paling benar. Baik dan benar. Kita mulai rela meninggalkan kekayaan, kekuasaan, dan semua hal yang menggiurkan tetapi butuh kebohongan yang meroda dalam perjalanan hidup kita. Berputar seperti lingkaran setan. Menjerumuskan sekaligus memuakkan!

Yah, memang, berat, serasa banyak musuh, serasa paling miskin, tetapi ... baik! Kita menikmati setiap detik ketika kita berbuat baik. Kita menikmati janji janji Tuhan untuk orang-orang yang berbuat baik. Kita bahkan sudah mulai berani mati untuk berbuat baik, semata-mata karena hati kita yakin. Baik adalah sifat dasar atau fitrah dari setiap hati manusia.

Tetapi baik saja tidak cukup di zaman edan ini. Kita harus berserikat, berkompromi, berkerja sama, bertoleransi agar kita tidak sendiri menjadi baik. Karena baik yang sendiri dengan mudah disapu angin buruk. Angin fitnah, angin pembunuhan, angin penipuan, angin sogokan, dan angin angin semu lainnya. kenapa saya bilang angin? Karena itu semua sementara dan pasti nikmatnya sebentar saja. Sekedar lewat. Tapi membuat kita sakit. Kotor hatinya dan terlena serta lupa menjadi baik.
Baik. Saya rindu, dan selalu saya dan Anda berdoa kepadaNya semoga saya selalu baik atau menjadi baik. Amin.

Read More

Insinyur

2 Oktober 2013
Lebih 68 tahun silam negara kita merdeka. Mendeklarasikan diri sebagai bangsa Indonesia, bukan Hindia Belanda. Membebaskan diri dari palung label kebodohan ciptaan bangsa Imperialis. Iya kita bebas sebagai makhluk. Bukan lagi budak dari makhluk lain.

Hmm.. tapi kenapa? Hari ini masih kulihat kehidupan di pojok pulau Nusantara, anak-anak berlari tanpa sandal, baju, atau bahkan celana. Hidup seperti anak ayam yang dilepas mencari makan oleh induknya. Atau orang-orang yang hanya sempat makan satu kali sehari ... eh hanya bisa makan satu kali sehari, karena dirundung oleh budaya kemiskinan, gempuran budaya konsumerisme, plus kerusakan moral. Semua karena tidak ada yang menekan mereka agar sekolah, atau tak ada yang menoleh ke arah mereka. Siapa mereka? Apa peduliku? Mereka tidak sekolah? Salah mereka sendiri! Begitukan pikirmu para Insinyur?

Aku tidak sedang mengutuk kemiskinan yang mendera sebagian bangsa Indonesia. Tidak pula mengutuk para pemikir cerdas namun culas yang sedang mengaku sebagai representasi rakyat. Hanya saja aku ingin bertanya kepada para insinyur yang asal usul katanya engineer dan bermakna perekayasa. Wahai para insinyur abad 21, tidakkah seharusnya kecerdasan dan ilmu yang kita miliki bisa menjadi kekuatan untuk menciptakan kesejahteraan atau bahasa kerennya kemakmuran bagi keluarga serumpun dan sebangsa kita? Atau hidup yang sekali ini sebaiknya cukup kita nikmati dan eksploitasi untuk kesenangan diri, kesenangan keluarga, dan kesenangan - kesenangan lainnya yang bersifat privat, terbatas, lagi eksklusif? Sungguh dunia yang sebentar ini berhasil menipu kita!

Insinyur Soekarno, berpendidikan, muda, gagah, dan cerdas. Di umur 24 tahun membuat propaganda melalui berbagai media untuk meyakinkan manusia Nusantara bahwa mereka sudah cukup cerdas dan hebat untuk lepas dari perbudakan bangsa lain. Berbekal ilmu dan wawasan yang diperolehnya dari jenjang pendidikan dasar sampai tinggi membuatnya cukup kritis dan berani menantang arus besar sang penguasa semu Nusantara. Mungkin terinspirasi dari cita-cita Patih Gajah Mada, cita - cita sederhana, menyatukan manusia Nusantara untuk kepentingan kemakmuran bangsa dan dunia. Ya... dia membuang kesempatan untuk menjadi Ambtenar budak elit bangsa barat. Harus meniti jalanan melelahkan lagi menyiksa. Harus berhadapan dengan kawan-kawannya sendiri yang beda pendapat. Hmm ... tapi lihat hari ini?

HOS Cokro Aminoto, bangsawan, terdidik, tetapi berhati mulia. Mentor Ir. Soekarno semasa mahasiswa. Tidak rela lihat rakyat non bangsawan hidup susah. Susah makan, susah minum, susah senang, susah sedih, susah hidup, dan susah mati. Beliau memilih memanggul karung ke pasar asal bisa makan dan bergemelut mempersatukan manusia cerdas dalam panji Tuhan Semesta Alam. Membuang pula takdir darah biru yang serba terjamin enak dari hidupnya, demi kebebasan bangsanya. Hmm... Berapa banyak kemudian orang yang terilhami lagi terinspirasi dengan langkahnya?

Oh iya, kita kembali kepada diri kita para Insinyur abad 21. Tidakkah hidup kita juga hanya sekali? Jika mati selesai semua, maka apa hal yang mau kita goreskan dalam buku kehidupan kita? Membantu bangsa luar mengeksploitasi sumber daya alam negeri sendiri? Menerima pelicin untuk memperlancar urusan manusia menipu dan merampok manusia - manusia lainnya? Aih ... sungguh uang itu cuma kertas berdigit yang bisa dimain-mainkan bank dunia. Kalau benda itu bisa mengantarkan kita ke surga, kenapa mau kita buat benda itu jadi tiket ekspres ke neraka? Atau mungkin para insinyur lupa bahwa nyawanya cuma satu? Hidupnya cuma sekali? Apapun pilihanmu nyur, selamat menjalani hidupmu dan mengukir kisahmu. Semoga Dia menggolongkan kita sebagai orang-orang yang beruntung, ketika masih hidup dan juga ketika sudah mati.

Read More

Rabu, 18 September 2013

Tidak Cukup Satu Jam

Bermula dari sebuah kabar tentang adanya jalan dari dusun Tatibajo menuju dusun Rura, tempat salah seorang rekan pengajar muda tinggal di sana. Rasa penasaran muncul di dalam hatiku. Anak-anak Rura sering datang ke Tatibajo untuk bermain sepak bola bersama anak-anak Tatibajo. Mereka datang melalui jalan tersebut. Jalanannya dapat dilalui anak-anak dengan cara menyusuri sungai yang memang mengalir dari dusun Tatibajo ke dusun Rura.

Pada hari Minggu yang cerah bersama beberapa anak, saya pun berniat mencapai suatu determinasi yang sebenarnya tidak terlalu penting. Melalui jalanan tersebut menuju dusun Rura. Saya pun berangkat bersama beberapa anak-anak SD dan SMP yang tinggal di Tatibajo. Beberapa diantara mereka sudah pernah melalui jalanan ini, sebagian lagi belum pernah. Anak-anak tersebut antara lain, Memi (kelas 6 SD, adik angkat saya) dan kakaknya Aldi (kelas 1 SMP, adik angkat saya juga didusun Tatibajo), Samira (kelas 5), Irma dan Lilianti (kelas 2 SMP, sepupu Memi yang tinggal dirumah keluarga Bapak Panji), Erni dan Risma (teman sekelas Memi), Rian (anak pak Kepala Dusun yang seharusnya kelas 5 SD, tetapi sudah dua tahun mogok sekolah), dan Suarman (kelas 2 SD).

Kami pun memulai petualangan kami pukul 13.00 WITA setelah melaksanakan sholat Dzuhur terlebih dahulu. Perjalanan dimulai dengan pikiran  terbesit bahwa kamera yang saya bawa baterainya belum di charge. Saya merasa hal tersebut tidak masalah. Menurut keterangan Samira, perjalanan ke dusun Rura melalui jalan tersebut "tidak cukup satu jam" alias tidak akan melebihi satu jam, maka saya pun cukup percaya diri dengan kemampuan saya.

Perjalanan pun dimulai dengan berbelok kanan ketika melalui jembatan sungai besar, bukan menyebrangi jembatan. Jalan setapak menuntun kami ke rintangan berupa jalanan tanah yang menanjak dan menurun dengan tajam, lebih dari 45°. Pada awalnya jalanan tidak licin tetapi nanti di tengah jalan kami harus ekstra hati-hati karena sandal dan kaki kami yang menyebrangi sungai memaksa jalanan tanah menjadi licin. Kami memang juga diharuskan menyebrangi sungai dengan cara melompat dari batu ke batu sambil sesekali kaki kami tercelup ke sungai yang dangkal. Udara yang panas sejak pagi menyebabkan sungai dangkal, namun jika hujan, sungai akan jadi medan yang berbahaya karena airnya akan meninggi dan saya tidak mahir berenang (baca: tidak bisa berenang).

Anak laki-laki berjalan begitu cepat bagai ninja di film animasi Jepang. Saya berjalan bersama anak-anak Perempuan karena tertinggal, dasar memang saya anak yang besar di kota, kurang militan. Jam tangan saya menunjukan pukul 14.00 WITA, satu jam telah berlalu dari waktu keberangkatan kami. Ya, kami belum sampai, baru setengah perjalanan. Kami melewati bagian depan goa yang dihuni banyak kalelawar tidur, sebuah batu pelaminan, dan PLTA yang sudah lama tidak berjalan. Tentu saja para kalelawar tidur karena hari ini masih siang, batunya mirip pelaminan karena sangat besar dan ada beberapa tali pohon beringin yang terjuntai seolah menjadi tirai alam, dan PLTA yang bernilai 200an juta namun hanya menyala sekitar 2 bulan saja karena kesalahan pemborong yang gagal memperhitungkan titik strategis untuk membangun PLTA.

Sayang ketika kamera saya coba untuk men-jepret ternyata tidak kuat mengambil satu gambar pun, baterainya kepalang habis. Kami pun terus berjalan lebih banyak menyusuri batu batuan di sungai pada setengah perjalanan terakhir. Kami bertemu dengan warga Rura di pertengahan jalan yang sepertinya sedang mengutak atik genset. Ternyata setelah saya tanya-tanya mereka sedang mencoba memperbaiki genset yang rusak untuk menangkap ikan. Lho!? Iya menangkap ikan dengan mengalirkan listrik ke bagian sungai yang banyak ikannya. Bagaimana nanti jika yang terkena justru orang lewat? atau telur ikan dan ikan ikan kecil ikut mati? Sebenarnya ini mungkin contoh keserakahan manusia. Asal keingnan terpenuhi, kerusakan alam akan dihitung belakangan oleh si pelaku.

Yah inilah mengapa pendidikan alias bahasa kerennya edukasi diperlukan bahkan di titik terluar negeri kita. Bukan hanya pendidikan intelejensi tetapi juga moral termasuk pendidikan tentang memelihara alam dengan cara mengendalikan hawa nafsu alias kerakusan diri. Saya melihat seorang ibu sedang membawa keranjang sayur di pundaknya. kelihatannya si Ibu sedang duduk memanen sayuran di kebunnya. "Tabe Bu" sapa saya dengan kata tabe yang artinya permisi, "Iye" si Ibu menjawab. Selang sekitar sepuluh menit kemudian, Ibu yang kami tinggalkan tadi dapat menyusul dengan kecapatan jalan ala ninja padahal medan yang kami lalui cukup melelahkan, berupa jalanan miring di pinggir sungai.

Kami hampir sampai berdasarkan keterangan dari anak yang pernah melalui jalanan ini. Tik, tik, tik menetes rintik hujan. Yap, kami harus bergegas sebelum hujan datang membawa banjirnya air di sungai ini. Jalanan terakhir yang kami lalui adalah jalanan menanjak menuju kebun di belakang rumah keluarga angkat Didin, pengajar muda di dusun Rura. Jam menunjukan pukul 15.30 WITA, memang "tidak cukup satu jam" tetapi bukan tidak sampai satu jam melainkan tidak cukup satu jam untuk melakukan perjalanan ini bagi orang awam.

Janganlah kita meremehkan kemampuan anak-anak yang lahir di pegunungan dan besar di sana, karena terbukti memang jika hanya penghuni gunung yang berjalan kaki ke dusun Rura bukan tidak mungkin mereka sampai ke tujuan kurang dari waktu satu jam. Jika orang "baru" yang berjalan kaki, perjalanan menjadi dua setengah jam. Lelah rasanya kaki, maka kami pun beristirahat di rumah keluarga angkat Didin. Sesampai di sana karena memang Didin sudah tahu kami akan datang (tetapi ternyata terlambat datang) murid-murid Didin mengajak kami berenang di bendungan yang sudah mati. Istilah mereka berenang di PLTA, saya pun memilih opsi menolak dan tidur terkapar sejenak. Murid-murid saya? Murid laki-laki langsung berangkat tanpa terlihat kehabisan "baterai", sedangkan murid perempuan mengunjungi rumah sanak keluarga mereka yang ada di dusun Rura.

Tadinya kami berniat langsung kembali, namun karena baterai alias tenaga saya sendiri sudah habis, kami memutuskan bermalam dan pulang setelah sholat subuh. Udara dingin dusun Rura mulai menyelimuti tubuh kami, setelah menjalankan sholat Ashar saya mengunjungi rumah saudara angkat di Rura. Saya berbincang-bincang di sana lalu kembali ke rumah Didin. Menyenangkan bertemu dengan orang-orang di sini, karena mereka ramah-ramah terhadap para Pengajar Muda. Malam pun kami lalui di dusun Rura. 

Selepas sholat Subuh kami kembali ke dusun Tatibajo. Berangkat sekitar pukul 05.40 WITA dan sampai pukul 06.30 WITA. Perjalanan lancar hanya menghabiskan 50 menit saja, bisa diartikan pula saya sudah jadi anak gunung. Hehe, tentu karena sudah pernah melalui jalan-jalan tersebut saya menjadi lebih cepat berjalan dan lebih gesit melompat dari batu ke batu. Hmm, perjalanan ini mengajari saya tentang betapa teknologi transportasi di kota telah memanjakan penghuninya dan membuat mereka lupa untuk mensyukuri nikmat berupa kemudahan transportasi dan akses jalan tersebut. Hal sederhana yang kita lupa tersebut baru bisa kita sadari jika kita pergi bertualang ke tempat yang masih asri, bagian pinggir negeri yang penghuninya menanti janji pembangunan dari para penguasa.

Read More

Saya?!

Foto saya
Dipanggil Fajar. Sampai saat ini masih yakin terlahir untuk menjadi pemenang, walaupun saat ini saya masih amat jauh dari pribadi dan pengetahuan seorang pemenang. Saya harus terus belajar hingga benar - benar menjadi pemenang di dunia dan di akhirat bersama pemenang-pemenang lainnya. Alhamdulillah saat ini saya telah lulus dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Cita - cita : Menjadi seorang pemilik perusahaan IT Indonesia yang disegani di seluruh dunia, dan menjadi orang super kaya sehingga mampu membantu sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia! Hal ini tak akan bisa terwujud tanpa doa, dukungan dan kerja keras. Untuk itu mohon doanya juga dari para pembaca :D

Fajar's Personality

Click to view my Personality Profile page