Sabtu, 21 Desember 2013

Semangat Canda

Bercanda. Ada kalanya kita harus bercanda. Lho kok? Ini adalah postingan penyemangat untuk penulis blog. Sekarang sudah jamannya jurnalisme positif. Yakni mengangkat cerita positif untuk memicu semangat orang lain untuk juga berkontribusi positif.

Semuanya berawal ketika saya mulai belajar untuk pribadi yang jujur minimal terhadap diri sendiri. Ternyata sulit. Kebaikan itu sulit dilakukan. Saya pun akhir-akhir ini menemukan bagaimana jadi pribadi baik yang tidak terlalu serius. Lho kok baik tidak serius? Bukan, tetapi belajar menjadi pribadi baik nan humoris. Pada akhirnya bercanda tanpa berbohong adalah cara efektif untuk menjadi pribadi yang baik namun tidak terlalu mempersulit diri sendiri. Bagaimana contohnya? Apa hubungannya dengan jurnalisme positif? Hehe, kalau Anda bertanya begitu berarti Anda terlalu serius. Caranya mudah tertawalah ketika ada hal yang lucu. Rekam di dalam kepala. Lalu ceritakan ke orang lain. Itu adalah cara menjadi pribadi yang lucu. Jangan terlalu dipikirkan, nanti lucunya tidak jadi. :p

Read More

Jumat, 11 Oktober 2013

Baik

Baik. Satu kata yang begitu mahal di saat ini. Kenapa? Karena banyak orang yang meniru, tiru kata baik tapi sebenarnya tidak. Cuma mau mengambil "kebaikan" untuk dirinya sendiri dengan meniru baik. Hehe. Merasa? Jangan tersinggung, saya juga merasa kok. Menangis di dalam hati, karena sering merasa jangan-jangan, saya termasuk di antara orang-orang yang sok sok-an baik. 

Tidak ada cerita tentang penempatan di post blog saya kali ini. Cuma tumpahan pemikiran lagi. Entah kenapa saya yakin, memang kita sedang berada di titik yang paling gelap dalam berkembangnya zaman. Tapi tahukah? Titik tergelap justru hadir sebelum titik terang itu perlahan datang. Ketika kebaikan menjadi barang yang mulai dirindukan banyak orang. Ketika orang-orang muak dengan kejahatan, kebohongan, dan kemunafikan yang terjadi pada diri dan sekitarnya.

Perlahan diri kita para generasi muda. Mulai terpanggil, mencari kebenaran yang paling benar. Baik dan benar. Kita mulai rela meninggalkan kekayaan, kekuasaan, dan semua hal yang menggiurkan tetapi butuh kebohongan yang meroda dalam perjalanan hidup kita. Berputar seperti lingkaran setan. Menjerumuskan sekaligus memuakkan!

Yah, memang, berat, serasa banyak musuh, serasa paling miskin, tetapi ... baik! Kita menikmati setiap detik ketika kita berbuat baik. Kita menikmati janji janji Tuhan untuk orang-orang yang berbuat baik. Kita bahkan sudah mulai berani mati untuk berbuat baik, semata-mata karena hati kita yakin. Baik adalah sifat dasar atau fitrah dari setiap hati manusia.

Tetapi baik saja tidak cukup di zaman edan ini. Kita harus berserikat, berkompromi, berkerja sama, bertoleransi agar kita tidak sendiri menjadi baik. Karena baik yang sendiri dengan mudah disapu angin buruk. Angin fitnah, angin pembunuhan, angin penipuan, angin sogokan, dan angin angin semu lainnya. kenapa saya bilang angin? Karena itu semua sementara dan pasti nikmatnya sebentar saja. Sekedar lewat. Tapi membuat kita sakit. Kotor hatinya dan terlena serta lupa menjadi baik.
Baik. Saya rindu, dan selalu saya dan Anda berdoa kepadaNya semoga saya selalu baik atau menjadi baik. Amin.

Read More

Insinyur

2 Oktober 2013
Lebih 68 tahun silam negara kita merdeka. Mendeklarasikan diri sebagai bangsa Indonesia, bukan Hindia Belanda. Membebaskan diri dari palung label kebodohan ciptaan bangsa Imperialis. Iya kita bebas sebagai makhluk. Bukan lagi budak dari makhluk lain.

Hmm.. tapi kenapa? Hari ini masih kulihat kehidupan di pojok pulau Nusantara, anak-anak berlari tanpa sandal, baju, atau bahkan celana. Hidup seperti anak ayam yang dilepas mencari makan oleh induknya. Atau orang-orang yang hanya sempat makan satu kali sehari ... eh hanya bisa makan satu kali sehari, karena dirundung oleh budaya kemiskinan, gempuran budaya konsumerisme, plus kerusakan moral. Semua karena tidak ada yang menekan mereka agar sekolah, atau tak ada yang menoleh ke arah mereka. Siapa mereka? Apa peduliku? Mereka tidak sekolah? Salah mereka sendiri! Begitukan pikirmu para Insinyur?

Aku tidak sedang mengutuk kemiskinan yang mendera sebagian bangsa Indonesia. Tidak pula mengutuk para pemikir cerdas namun culas yang sedang mengaku sebagai representasi rakyat. Hanya saja aku ingin bertanya kepada para insinyur yang asal usul katanya engineer dan bermakna perekayasa. Wahai para insinyur abad 21, tidakkah seharusnya kecerdasan dan ilmu yang kita miliki bisa menjadi kekuatan untuk menciptakan kesejahteraan atau bahasa kerennya kemakmuran bagi keluarga serumpun dan sebangsa kita? Atau hidup yang sekali ini sebaiknya cukup kita nikmati dan eksploitasi untuk kesenangan diri, kesenangan keluarga, dan kesenangan - kesenangan lainnya yang bersifat privat, terbatas, lagi eksklusif? Sungguh dunia yang sebentar ini berhasil menipu kita!

Insinyur Soekarno, berpendidikan, muda, gagah, dan cerdas. Di umur 24 tahun membuat propaganda melalui berbagai media untuk meyakinkan manusia Nusantara bahwa mereka sudah cukup cerdas dan hebat untuk lepas dari perbudakan bangsa lain. Berbekal ilmu dan wawasan yang diperolehnya dari jenjang pendidikan dasar sampai tinggi membuatnya cukup kritis dan berani menantang arus besar sang penguasa semu Nusantara. Mungkin terinspirasi dari cita-cita Patih Gajah Mada, cita - cita sederhana, menyatukan manusia Nusantara untuk kepentingan kemakmuran bangsa dan dunia. Ya... dia membuang kesempatan untuk menjadi Ambtenar budak elit bangsa barat. Harus meniti jalanan melelahkan lagi menyiksa. Harus berhadapan dengan kawan-kawannya sendiri yang beda pendapat. Hmm ... tapi lihat hari ini?

HOS Cokro Aminoto, bangsawan, terdidik, tetapi berhati mulia. Mentor Ir. Soekarno semasa mahasiswa. Tidak rela lihat rakyat non bangsawan hidup susah. Susah makan, susah minum, susah senang, susah sedih, susah hidup, dan susah mati. Beliau memilih memanggul karung ke pasar asal bisa makan dan bergemelut mempersatukan manusia cerdas dalam panji Tuhan Semesta Alam. Membuang pula takdir darah biru yang serba terjamin enak dari hidupnya, demi kebebasan bangsanya. Hmm... Berapa banyak kemudian orang yang terilhami lagi terinspirasi dengan langkahnya?

Oh iya, kita kembali kepada diri kita para Insinyur abad 21. Tidakkah hidup kita juga hanya sekali? Jika mati selesai semua, maka apa hal yang mau kita goreskan dalam buku kehidupan kita? Membantu bangsa luar mengeksploitasi sumber daya alam negeri sendiri? Menerima pelicin untuk memperlancar urusan manusia menipu dan merampok manusia - manusia lainnya? Aih ... sungguh uang itu cuma kertas berdigit yang bisa dimain-mainkan bank dunia. Kalau benda itu bisa mengantarkan kita ke surga, kenapa mau kita buat benda itu jadi tiket ekspres ke neraka? Atau mungkin para insinyur lupa bahwa nyawanya cuma satu? Hidupnya cuma sekali? Apapun pilihanmu nyur, selamat menjalani hidupmu dan mengukir kisahmu. Semoga Dia menggolongkan kita sebagai orang-orang yang beruntung, ketika masih hidup dan juga ketika sudah mati.

Read More

Rabu, 18 September 2013

Tidak Cukup Satu Jam

Bermula dari sebuah kabar tentang adanya jalan dari dusun Tatibajo menuju dusun Rura, tempat salah seorang rekan pengajar muda tinggal di sana. Rasa penasaran muncul di dalam hatiku. Anak-anak Rura sering datang ke Tatibajo untuk bermain sepak bola bersama anak-anak Tatibajo. Mereka datang melalui jalan tersebut. Jalanannya dapat dilalui anak-anak dengan cara menyusuri sungai yang memang mengalir dari dusun Tatibajo ke dusun Rura.

Pada hari Minggu yang cerah bersama beberapa anak, saya pun berniat mencapai suatu determinasi yang sebenarnya tidak terlalu penting. Melalui jalanan tersebut menuju dusun Rura. Saya pun berangkat bersama beberapa anak-anak SD dan SMP yang tinggal di Tatibajo. Beberapa diantara mereka sudah pernah melalui jalanan ini, sebagian lagi belum pernah. Anak-anak tersebut antara lain, Memi (kelas 6 SD, adik angkat saya) dan kakaknya Aldi (kelas 1 SMP, adik angkat saya juga didusun Tatibajo), Samira (kelas 5), Irma dan Lilianti (kelas 2 SMP, sepupu Memi yang tinggal dirumah keluarga Bapak Panji), Erni dan Risma (teman sekelas Memi), Rian (anak pak Kepala Dusun yang seharusnya kelas 5 SD, tetapi sudah dua tahun mogok sekolah), dan Suarman (kelas 2 SD).

Kami pun memulai petualangan kami pukul 13.00 WITA setelah melaksanakan sholat Dzuhur terlebih dahulu. Perjalanan dimulai dengan pikiran  terbesit bahwa kamera yang saya bawa baterainya belum di charge. Saya merasa hal tersebut tidak masalah. Menurut keterangan Samira, perjalanan ke dusun Rura melalui jalan tersebut "tidak cukup satu jam" alias tidak akan melebihi satu jam, maka saya pun cukup percaya diri dengan kemampuan saya.

Perjalanan pun dimulai dengan berbelok kanan ketika melalui jembatan sungai besar, bukan menyebrangi jembatan. Jalan setapak menuntun kami ke rintangan berupa jalanan tanah yang menanjak dan menurun dengan tajam, lebih dari 45°. Pada awalnya jalanan tidak licin tetapi nanti di tengah jalan kami harus ekstra hati-hati karena sandal dan kaki kami yang menyebrangi sungai memaksa jalanan tanah menjadi licin. Kami memang juga diharuskan menyebrangi sungai dengan cara melompat dari batu ke batu sambil sesekali kaki kami tercelup ke sungai yang dangkal. Udara yang panas sejak pagi menyebabkan sungai dangkal, namun jika hujan, sungai akan jadi medan yang berbahaya karena airnya akan meninggi dan saya tidak mahir berenang (baca: tidak bisa berenang).

Anak laki-laki berjalan begitu cepat bagai ninja di film animasi Jepang. Saya berjalan bersama anak-anak Perempuan karena tertinggal, dasar memang saya anak yang besar di kota, kurang militan. Jam tangan saya menunjukan pukul 14.00 WITA, satu jam telah berlalu dari waktu keberangkatan kami. Ya, kami belum sampai, baru setengah perjalanan. Kami melewati bagian depan goa yang dihuni banyak kalelawar tidur, sebuah batu pelaminan, dan PLTA yang sudah lama tidak berjalan. Tentu saja para kalelawar tidur karena hari ini masih siang, batunya mirip pelaminan karena sangat besar dan ada beberapa tali pohon beringin yang terjuntai seolah menjadi tirai alam, dan PLTA yang bernilai 200an juta namun hanya menyala sekitar 2 bulan saja karena kesalahan pemborong yang gagal memperhitungkan titik strategis untuk membangun PLTA.

Sayang ketika kamera saya coba untuk men-jepret ternyata tidak kuat mengambil satu gambar pun, baterainya kepalang habis. Kami pun terus berjalan lebih banyak menyusuri batu batuan di sungai pada setengah perjalanan terakhir. Kami bertemu dengan warga Rura di pertengahan jalan yang sepertinya sedang mengutak atik genset. Ternyata setelah saya tanya-tanya mereka sedang mencoba memperbaiki genset yang rusak untuk menangkap ikan. Lho!? Iya menangkap ikan dengan mengalirkan listrik ke bagian sungai yang banyak ikannya. Bagaimana nanti jika yang terkena justru orang lewat? atau telur ikan dan ikan ikan kecil ikut mati? Sebenarnya ini mungkin contoh keserakahan manusia. Asal keingnan terpenuhi, kerusakan alam akan dihitung belakangan oleh si pelaku.

Yah inilah mengapa pendidikan alias bahasa kerennya edukasi diperlukan bahkan di titik terluar negeri kita. Bukan hanya pendidikan intelejensi tetapi juga moral termasuk pendidikan tentang memelihara alam dengan cara mengendalikan hawa nafsu alias kerakusan diri. Saya melihat seorang ibu sedang membawa keranjang sayur di pundaknya. kelihatannya si Ibu sedang duduk memanen sayuran di kebunnya. "Tabe Bu" sapa saya dengan kata tabe yang artinya permisi, "Iye" si Ibu menjawab. Selang sekitar sepuluh menit kemudian, Ibu yang kami tinggalkan tadi dapat menyusul dengan kecapatan jalan ala ninja padahal medan yang kami lalui cukup melelahkan, berupa jalanan miring di pinggir sungai.

Kami hampir sampai berdasarkan keterangan dari anak yang pernah melalui jalanan ini. Tik, tik, tik menetes rintik hujan. Yap, kami harus bergegas sebelum hujan datang membawa banjirnya air di sungai ini. Jalanan terakhir yang kami lalui adalah jalanan menanjak menuju kebun di belakang rumah keluarga angkat Didin, pengajar muda di dusun Rura. Jam menunjukan pukul 15.30 WITA, memang "tidak cukup satu jam" tetapi bukan tidak sampai satu jam melainkan tidak cukup satu jam untuk melakukan perjalanan ini bagi orang awam.

Janganlah kita meremehkan kemampuan anak-anak yang lahir di pegunungan dan besar di sana, karena terbukti memang jika hanya penghuni gunung yang berjalan kaki ke dusun Rura bukan tidak mungkin mereka sampai ke tujuan kurang dari waktu satu jam. Jika orang "baru" yang berjalan kaki, perjalanan menjadi dua setengah jam. Lelah rasanya kaki, maka kami pun beristirahat di rumah keluarga angkat Didin. Sesampai di sana karena memang Didin sudah tahu kami akan datang (tetapi ternyata terlambat datang) murid-murid Didin mengajak kami berenang di bendungan yang sudah mati. Istilah mereka berenang di PLTA, saya pun memilih opsi menolak dan tidur terkapar sejenak. Murid-murid saya? Murid laki-laki langsung berangkat tanpa terlihat kehabisan "baterai", sedangkan murid perempuan mengunjungi rumah sanak keluarga mereka yang ada di dusun Rura.

Tadinya kami berniat langsung kembali, namun karena baterai alias tenaga saya sendiri sudah habis, kami memutuskan bermalam dan pulang setelah sholat subuh. Udara dingin dusun Rura mulai menyelimuti tubuh kami, setelah menjalankan sholat Ashar saya mengunjungi rumah saudara angkat di Rura. Saya berbincang-bincang di sana lalu kembali ke rumah Didin. Menyenangkan bertemu dengan orang-orang di sini, karena mereka ramah-ramah terhadap para Pengajar Muda. Malam pun kami lalui di dusun Rura. 

Selepas sholat Subuh kami kembali ke dusun Tatibajo. Berangkat sekitar pukul 05.40 WITA dan sampai pukul 06.30 WITA. Perjalanan lancar hanya menghabiskan 50 menit saja, bisa diartikan pula saya sudah jadi anak gunung. Hehe, tentu karena sudah pernah melalui jalan-jalan tersebut saya menjadi lebih cepat berjalan dan lebih gesit melompat dari batu ke batu. Hmm, perjalanan ini mengajari saya tentang betapa teknologi transportasi di kota telah memanjakan penghuninya dan membuat mereka lupa untuk mensyukuri nikmat berupa kemudahan transportasi dan akses jalan tersebut. Hal sederhana yang kita lupa tersebut baru bisa kita sadari jika kita pergi bertualang ke tempat yang masih asri, bagian pinggir negeri yang penghuninya menanti janji pembangunan dari para penguasa.

Read More

Muhaimin, Mutiara di Atas Gunung

Pada suatu siang yang terik. Baru beberapa minggu setelah saya ditempatkan di dusun Tatibajo. Datang seorang Bapak yang wajahnya sangat ramah. Berkaos kaki dan sendal gunung duduk di sebuah dipan di bawah rumah Pak Imam. Kata anak-anak Bapak itu mencari saya, wajahnya terlihat terpelajar. “Assalamu’alaykum Pak” sapaku, “Wa’alaykumsalam”. “Saya Bapaknya Muhaimin” sang Bapak mengenalkan diri. Saya pun teringat sebuah nama yang pernah diceritakan kepada saya oleh Pengajar Muda sebelum saya, nama seorang anak yang bisa lolos olimpiade sains yang diselenggarakan oleh instansi swasta sampai ke tingkat semi final (Kabupaten).

“Oh iya saya tahu, ada apa Pak jauh-jauh ke sini?” “Kapan itu Mas olimpiade lagi?” tanya Papa Muhaimin. Di sini ada budaya memanggil orang tua dengan nama anak pertamanya, Ayahnya Muhaimin dipanggil Papa Muhaimin, ibunya ya dipanggil Mama Muhaimin. “Februari Pak, tanggal 23” jawab Saya.  “Nah ini anak saya kan kemarin sepertinya hampir lolos ke final. Waktu itu dia masih kelas 2 jadi jika bersaing pun dengan kelas 1, sekarangkan dia sudah naik kelas 3 bersaing dengan yang lebih tua, tetapi sampai sekarang belum ada persiapan.” Tukas Papa Muhaimin. Pada olimpiade ini memang peserta dibagi tiga jenjang, yakni level 1 untuk kelas 1 dan 2, level 2 untuk kelas 3 dan 4, serta level 3 untuk kelas 5 dan 6. Muhaimin dulu berada di level 1 dalam keadaan menguntungkan (kelas 2), sekarang dia naik kelas 3 sehingga harus bersaing dengan kelas 4 yang juga berada di level 2.

“Saya mau belikan majalah untuk anak saya untuk persiapan, jadi bisa tolong dipesankan itu majalahnya?” tanya Beliau. “Bisa Pak, nanti saya tanya teman saya yang memang dapat tugas membantu dalam hal ini” jawab Saya. “Kalau perlu sekalian dibimbing anak saya dari sekarang” kata Papa Muhaimin. Dalam hatiku bilang, wah kalau bimbing sekarang gurunya juga belum siap Pak. “Nanti saja kalau itu kita pikirkan lagi Pak.” Jawabku. “Jadi berapa harga majalahnya? Perlu saya kasih sekarang uangnya?” tanya beliau. Oh iya, saya lupa beritahu bahwa olimpiade ini memang menyajikan materi sains yang diperlombakan dalam bentuk majalah komik. Mereke menjual majalah komik sains tersebut dengan harapan dapat menyajikan materi sains dalam wujud yang bersahabat.

Tentu saja saya bukan agen majalah tersebut, maka pertanyaan Papa Muhaimin pun saya jawab “Kalau itu saya juga belum tahu Pak, tenang saja nanti saya pesankan masalah uangnya belakangan saja”. “Baik terima kasih Mas, nanti bagaimana, majalahnya saya ambil?” tanya beliau lagi. “Tidak perlu Pak, nanti saya antar sekalian silaturahim ke rumah Bapak” jawaban ku reflek karena ingin menghormati sang Bapak yang sudah datang menghampiri rumah keluarga angkat Saya. Kami pun berbicara banyak tentang si Bapak ini. Ternyata beliau adalah seorang guru di dusun Sambabo, desa Sambabo, namun sepertinya belum jadi “pegawai” (sebutan untuk PNS di daerah Sulbar). Setelah perbincangan yang tidak cukup lama akhirnya Papa Muhaimin pamit kembali ke rumahnya.

Saya pun memesan majalah tersebut dengan menemui rekan saya yang memang sedang mengelola pesan memesan majalah olimpiade tersebut. Dunia pun berputar, tak terasa pesanan sudah saya ambil dari rumah keluarga angkat rekan pengajar muda saya yang saya minta tolong kepadanya untuk memesan majalah tersebut. Saya dan Didin (rekan pengajar muda yang masih satu kecamatan dengan saya daerah penempatannya) pun bersiap menuju Desa Kabiraan, Desa tempat tinggal Muhaimin. 
Ada beberapa wilayah desa yang dilewati ketika menuju Kabiraan, di jalan Poros merupakan wilayah desa Salutambung, menanjak ke atas sudah wilayah desa Sambabo, dan menanjak lagi sudah wilayah desa Kabiraan. Desa Kabiraan terletak 8 km dari Jalan Raya Poros, jalanan mendaki gunung ini bisa dilalui oleh motor dan juga mobil sekelas Strada. Jalanannya adalah kombinasi dari aspal rontok, kerikil lepas dan tanah. Hawa semakin dingin ketika melawati pintu gerbang dusun Sambabo yang terletak di pinggiran jalanan menanjak menuju desa Kabiraan.  Akhirnya kami pun sampai ke desa Kabiraan, ada tiga rumah yang ingin kami kunjungi di desa ini. Rumah yang pertama adalah rumah Pak Muhaimin, yang kedua adalah rumah Pak Nurdin Kepala sekolah SDN 6 Kabiraan, dan rumah Bu Siti seorang guru SDN 6 Kabiraan.

Rumah pertama yang kami datangi adalah rumah Pak Nurdin. Saya lewat cerita di sini karena bagian menariknya bukan ada di rumah Pak Nurdin. Begitu pula dengan kunjungan ke rumah Bu Siti. Seorang guru yang dianggap oleh PM sebelum saya sudah seperti orang tuanya sendiri, cerita di sini juga saya lewat. Mungkin akan saya ceritakan sosok beliau di tulisan saya yang lain. Akhirnya ke rumah Muhaimin, Rumah Muhaimin bentuknya rumah panggung kayu yang sederhana, di bagian depan ada toko serba ada bertembok semen dan batu yang kelihatannya menjual berbagai keperluan pertanian dan kebutuhan sehari-hari, dari mulai makanan kemasan sampai semen. Tapi bagian tokok tersebut tertutup, saya hanya mengintipnya dari bagian atas toko yang agak terbuka dan bisa terlihat dari bagian rumah panggung kayu yang tersambung secara organik.

Rumahnya tok rumah kayu, beratapkan sebagian seng dan sebagian daun kelapa. Kamar mandinya atau Wcnya merupakan kamar mandi umum di samping rumah dan tidak berpintu, hanya ada tirai saja. Dari kejauhan terlihat memang desa Kabiraan adalah desa yang Islami, terlihat pemandangan perempuan berjilbab lebar di jalanan desa. Kami pun memasuki pintu rumah yang lebih tepat disebut lubang di sebuah rumah kayu yang sederhana. Papa Muhaimin keluar dengan senyum ramahnya menyambut kami, “Assalamu’alaykum Pak!” seruku menyapa sambil menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. “Wa’alaykumsalam” Beliau menjawab sembari segera mengambil dua kursi plastik yang ada lengan dan sandarannya untuk saya dan Didin. Tren kursi di gunung terutama untuk beberapa dusun yang penduduknnya berpenghasilan tidak banyak memang kursi plastik, disamping tentu saja karena lebih murah dari kursi berbahan lainnya, ringan juga untuk dibawa ke gunung oleh penjualnya.

“Muhaimin! Muhaimin! Ke sini dulu, ada pak Guru!” kata Papa Muhaimin. Sosok kecil dengan ekspresi setengah senang pun datang. Muhaimin jarang tersenyum, tetapi ada tatapan mata orang jenius dari matanya. Kenapa saya bisa tarik kesimpulan seperti itu? Saya pernah bertemu dengan banyak orang sebelum saya ke tempat ini dan juga di tempat ini. Sebenarnya sebagai seorang pengajar muda saya lebih banyak belajar dibandingkan mengajar. Termasuk belajar membedakan pandangan mata. Pandangan mata yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan sehingga didominasi pada orientasi bertahan hidup di hari ini atau pandangan mata kompleks yang berpikir tentang minimal apa, siapa, dan dari mana jika melihat seseorang ataupun suatu hal baru. Pandangan mata Muhaimin adalah salah satu pandangan mata terkompleks yang pernah saya lihat. Dia memikirkan banyak hal.

Aku pun menyerahkan majalah yang telah dipesan oleh Papa Muhaimin. Adegan yang paling cukup membuatku kaget ketika Muhaimin membaca majalah tersebut seperti anak yang pernah mendapat rekor Muri sebagai penghapal tercepat di sebuah acara talkshow salah satu stasiun televisi swasta nasional. Ya, Muhaimin bukan anak biasa. Terbukti ketika pertemuan pertama pelatihan peserta olimpiade sains, Muhaimin bisa menangkap dengan mudah berbagai pelajaran yang diberikan oleh rekan saya seorang Pengajar Muda di desa Sambabo. Waktu pun berlalu, singkat cerita sebuah babak penyisihan dari olimpiade sains yang diselenggarakan oleh institusi swasta ini pun telah dilalui. Sebulan kemudian hasilnya muncul, dan Muhaimin lolos ke semi final. Kejadian ini membuktikan bahwa di pelosok negeri kita masih tersimpan banyak mutiara yang harus diasah dengan asahan terbaik yang kita punya.
Muhaimin di pertandingan penyisihan

Read More

Sabtu, 01 Juni 2013

Berdiam?

Satu hal yang beberapa kali terjadi dalam kehidupan saya. Masalah kesehatan di pertengahan tahun. Klo kata ustadz, sakit itu tanda sayang Allah kepada hamba-Nya, diberikan fasilitas menggugurkan dosa. Ya,  saya memang sedang banyak dosa. Saya pun menjadi Pengajar Muda pertama kabupaten Majene yang  durasi sakitnya cukup lama. Rasanya hati berat mengikhlaskan untuk mendapatkan status sakit dan harus pulang, karena banyak kerja yang harus ditinggalkan sementara. Tentu saja yang paling berat bagi Pengajar Muda adalah meninggalkan anak-anak didiknya.

Satu minggu sudah saya di kota kelahiran saya, Depok. Enam setengah bulan di daerah terpencil membuat mata saya benar-benar terbuka. What an egoistic people was i am. Kita makhluk kota. Hidup dengan segala ketersediaan yang ada. Bekerja untuk diri sendiri, menghabiskan air bersih yang sebenarnya hanya berjumlah 3% dari seluruh air yang ada di Bumi, menghabiskan energi listrik setiap harinya untuk berbagai keperluan termasuk bermain games di berbagai platform, mendapatkan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang lengkap, dan menikmati keterbukaan informasi lewat berbagai media yang ada. Sementara di seberang pulau sana? Saya tidak menyalahkan kondisi ini dinikmati oleh orang-orang kota. Tetapi yang jadi pertanyaan, apakah kita sebagai entitas terdidik tidak bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat di desa-desa terutama desa terpencil? Atau setidaknya membangun daerah-daerah "tertinggal" di pinggiran kota kita?

Jika berbicara tentang gerakan Indonesia Mengajar (IM), tentu merupakan salah satu gerakan yang "berbuat sesuatu" diantara gerakan-gerakan lain dari kelompok-kelompok lain. Saya gembira dan tidak terlalu peduli masalah ketulusan individu ataupun kelompok yang menjalani hal ini, setidaknya setiap kelompok yang bergerak di bidang wirausaha sosial ini sudah bergerak. Saya pribadi pun mengenal keluarga besar IM sebagai sekelompok orang yang melakukan tugas sosial super manusiawi dengan sangat profesional selayaknya korporasi besar yang sedang mengejar untung besar. IM tidak berniat menyelesaikan semua masalah pendidikan, tetapi IM mencoba mengambil tantangan yang tersulit untuk diselesaikan. Kerja sendiri? tidak, prinsip kerjanya adalah menggerakan aktor lokal di daerah sasaran. IM menjadi salah satu indikator bahwa negara ini masih punya harapan. Gerakan ini pun melahirkan gerakan-gerakan komplemen atau duplikat lainnya semisal Indonesia Menyala, SM3T, Anak Sabang Merauke, Pencerah Nusantara, dan gerakan sosial lain yang belum saya tahu tentunya.

Berbicara tentang harapan, tentu saja harapannya sangat besar. Saya mengenal hal-hal super lainnya semisal wirausaha jilbab yang memberdayakan para mantan penderita kusta sebagai salah satu contoh wirausaha sosial, ada berbagai lembaga amil zakat (semisal rumah zakat) yang bergerak menghimpun dan menyalurkan dana umat, berbagai lembaga yang bergerak di bidang peningkatan kualitas SDM dan pendidikan karakter, keberadaan partai dakwah di tengah-tengah kehidupan politik yang belum dewasa, dan berbagai fenomena yang menyebarkan atmosfir perubahan positif. Tentu ini sangat menggembirakan, rugi rasanya jika hidup hanya untuk sendiri dan melewatkan kesempatan berbahagia karena telah membuat orang lain menjadi bahagia. Masih mau berdiam?

Read More

Rabu, 01 Mei 2013

Makan - Makan Akhir Semester

Pembagian buku rapor semester 1 tahun ajaran 2012/2013 telah selesai dilaksanakan. Pembagian rapor di dusun sedikit berbeda dengan pembagian rapor di kota. Kalau di kota yang menerima adalah orang tua, maka kalau di dusun yang menerima adalah siswa itu sendiri.  Tentu Anda akan bertanya kenapa hal itu terjadi. Jawabannya sederhana, di dusun saya mayoritas orang tua tidak  lancar membaca apalagi menulis. Jadi percuma juga jika orang tuanya yang menerima rapor mereka.

Selepas menerima rapor, siswa dan orang tua mereka mengajak kami berjalan ke sungai yang dekat dengan “perusahaan”. “Perusahaan” adalah nama untuk sebuah daerah yang sempat digarap sebuah perusahaan kontraktor yang pernah berjanji kepada warga dusun, apabila mereka diperbolehkan bekerja mengeruk batu-batu di daerah perbukitan dekat dusun, mereka akan membangun jalan ke dusun. Pada kenyataannya perusahaan tersebut tidak pernah menepati janjinya dan sempat diamuk masyarakat dusun. Akhirnya lahan kerja mereka menjadi sebuah lapangan batu-batuan berpasir diantara dua bukit dan disebut sebagai “perusahaan”.

Saya cukup heran tentang satu hal. Guru honorer di SD saya yang bernama Bu Umi biasanya untuk acara-acara begini sangat enjoy seketika menghilang setelah kami selesai makan siang ala piknik bersama para orang tua. Ternyata memang ada suatu hal, setelah makan, murid-murid berbondong-bondong mengambil air ke sungai dengan segala perangkat penampung air yang mereka punya untuk diguyurkan ke guru-guru mereka. Terlambat, hal-hal seperti ini memang tidak pernah diceritakan ke saya. Padahal baju saya sudah rapih ala orang mau berangkat kerja, tetapi sepertinya harus menjadi korban pelepasan penat anak-anak yang baru terima rapor.

Yah saya pun menyerah pada nasib, menitipkan kamera, kemeja, dan dompet sehingga siap untuk diguyur.  “Byur...”, senang sekali mereka karena berhasil mengguyur saya, terpaksa saya ikut nyebur juga ke sungai menyerang balik mereka dengan guyuran bermodal tempat makan rampasan dari murid saya. Enak saja mereka mengguyur gurunya tanpa balas diguyur.  Hehe. Semua guru terlibat, kecuali ibu-ibu guru, sudah pada menghilang bersama angin yang berhembus, alias kabur.

Kami pun berjalan pulang menyusuri sungai sambil terkadang menyebrangi sungai. Anak-anak pun meneriakan semacam yel yang cukup menggelitik saya. “Siapa suka diajari sama Pak Fajar?” teriak salah satu murid kelas VI, Ical. Semua murid lain yang sedang berjalan pulang bersama pun menjawab “Saya!!”. Mereka memang pintar sekali merayu guru mereka di saat-saat seperti ini, banyaknya yel-yel sejenis yang mereka lontarkan membuat saya serasa Fir’aun kecil. Hehe.


Ical yang sedang berteriak Yel ala Fir'aun :D

Akhirnya basah kuyup.

Pak Amrin (wali kelas 5) dan murid-murid

Pak Amrin (wali kelas 5), Pak Juki (wali kelas 6) dan murid-murid bersorak sorai

Read More

Minggu, 21 April 2013

Bukan Cerdas Cermat

Suasana Pertandingan Cerdas Cermat
Ketika bermalam di rumah Pak Juki, saya dapat kabar dari anak-anak sekolah yang ada di Masjid Ainul Yaqin bahwa esok hari sebuah acara cerdas cermat akan dilaksanakan. Pelaksananya adalah mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari salah satu Universitas di Propinsi Sulawesi Barat. Sebenarnya mereka sudah mengabarkan sekitar satu bulan lalu tentang lomba ini. Wilayah kerja mereka memang hanya Desa Salutambung dan di Desa Salutambung hanya ada dua SD yakni SDN 27 Tatibajo dan SDN 10 Salutambung.

Kami para guru SDN 27 Tatibajo dan guru SDN 10 Salutambung diminta oleh panitia membuat soal untuk pertandingan cerdas cermat. Sayang pada akhirnya soal dari SD kami (SDN 27 Tatibajo) banyak yang tidak diambil karena ternyata banyak guru yang tidak mencantumkan kunci jawaban. Semula saya bingung, kenapa soal dari SDN 10 Salutambung diberikan panitia kepada kami (SDN 27 Tatibajo). Ternyata soal tersebut ditukarkan ke kedua SD. Kepala sekolah saya pun meminta saya untuk melatih tim cerdas cermat yang akan bertanding dengan bermodal soal tersebut.

Saya pun melatih mereka. Salah satu cara saya melatih mereka pada pelajaran Matematika, saya membuat soal yang mirip dengan yang ada di soal edaran dan memberikan soal tersebut dengan sajian cerdas cermat juga. Sebenarnya dengan cara ini pun saya merasa jadi orang yang curang, karena sudah tahu model soalnya seperti apa. Akhirnya karena lelah, pada pelajaran lain, soal saya sajikan dengan cerdas cermat pula tanpa perubahan apapun. Pada saat itu saya merasa telah menjadi orang yang curang karena sudah tahu soal yang akan dilombakan dan malah saya menyimulasikannya duluan di depan murid saya. Saya merasa sudah mengkhianati komitmen saya sendiri dalam hal melaksanakan apa pun dalam hidup saya dengan nilai kejujuran.

Sebelum pertandingan berlangsung, ada isu bahwa guru di SDN 10 meminta soal dan jawabannya dihafalkan oleh para siswa yang akan berlomba. Saya tidak mengindahkan isu ini, saya pikir kalaupun menang dengan cara seperti itu tidak seperti lomba cerdas cermat, tetapi menang lomba menghafal. Kalau memang tujuannya menguji kecerdasan siswa, bukankah cara ini tidak tepat? Ya saya pikir saya juga berada di jalan yang tidak lurus juga, karena sudah tahu soal yang akan keluar juga. Hanya saja saya tidak serta merta meminta siswa saya yang akan berlomba untuk menghafalnya, melainkan melatih mereka menjawab soal tersebut dengan sajian ala cerdas cermat juga.

Waktu pun berlalu, salah satu siswa yang menjenguk Pak Juki adalah peserta lomba Cerdas Cermat. Namanya Aidin, saya meminta Aidin untuk tidak lagi masuk ke dusun dan mencari pinjaman seragam saja di pinggir. Salah satu siswa peserta lain memang tinggal di pinggir, namanya Nurjayanti. Saya langsung meminta salah rombongan kunjungan jenguk untuk mengirim utusan mengabari Nurjayanti tentang hal ini. Akhirnya sisa peserta yang masih ada di dusun akan saya dan Pak Amrin (salah seorang guru di sekolah) jemput esok pagi hari.

Dipagi hari aku pun langsung mencari pinjaman seragam untuk Aidin. Aku mencari pinjaman dari sanak keluarganya Bu Juki yang mungkin punya baju seragam yang sedang tidak dipakai dan juga mencarinya di rumah kepala sekolah. Ibu istri kepala sekolah pun turut mencarikan pinjaman seragam dari rumah sanak keluarganya. Kebetulan untuk seragam putih sudah didapat dari salah satu anak Pak Juki. Bu Kepala Sekolah sedang mencarikan pinjaman celana seragam merah. Dua celana pun terkumpul di rumah kepala sekolah, namun ternyata celana yang mau dipinjamkan terlalu kecil untuk Aidin. Begitu pula milik anak Pak Juki, celananya kekecilan. Sampai akhirnya Bu Juki menemukan celana milik keponakannya yang cocok untuk Aidin.

Semua peserta pun telah terkumpul di rumah Pak Juki dan kami siap berangkat ke lokasi perlombanan SDN 10 Salutambung. Sesampai di sana panitia telah menunggu. Anak-anak pun memasuki kelas tempat perlombaan. Lomba belum dimulai karena belum semua tokoh yang ditunggu datang di lokasi. Akhirnya pun saya memutuskan untuk pergi sejenak ke Masjid terdekat untuk sholat dhuha. Selesai sholat dhuha saya kembali ke tempat perlombaan dan ternyata malah saya yang ditunggu panitia sehingga lomba belum dimulai. Hehe saya jadi merasa tidak enak.

Setelah itu seorang pembawa acara (MC) pun membacakan tata tertib cerdas cermat dan pengundian amplop soal pun dimulai. SDN 27 Tatibajo terdiri dari dua tim, anggota tim yang pertama antara lain Arif siswa kelas V, Aidin siswa kelas VI, dan Nurjayanti siswa kelas IV. Anggota tim yang kedua antara lain, Perni kelas IV, Ical kelas VI, dan Sugiono kelas V. Cerdas cermat terdiri dari dua babak, babak yang pertama adalah babak pertanyaan bergilir, sedangkan yang kedua adalah babak pertanyaan rebutan. “Babak pertanyaan bergilir akan dimulai, amplop nomor satu akan saya dibuka buka. Amplop masih dalam keadaan tersegel” ucap MC kepada seluruh peserta dan penonton sambil menunjukan keadaan amplop yang masih utuh. Seputar soal yang dibuat kedua belak sekolah, sudah jauh hari panitia menyampaikan kepada kepala sekolah bahwa soal dari SDN 27 Tatibajo tidak digunakan oleh panitia karena banyak guru yang tidak mencantumkan kunci jawaban.

Lalu bergulirlah pertanyaan tiap pertanyaan kepada tim A dari SDN 10 Salutambung. Saya pun terkaget karena ternyata soal yang dibacakan sama persis dengan soal yang diberikan ke setiap sekolah. Saya pun berbisik pada MC bertanya “Apakah dari panitia tidak membuatkan soal untuk lomba ini?”, lalu panitia menggelengkan kepala. Hal yang lebih membuat saya kaget adalah jawaban dari tim A hampir tidak ada yang salah. Lalu amplop berikutnya pun dibuka dan dibacakan untuk tim B dari SDN 27 Tatibajo. Sebenarnya sewaktu saya melatih murid-murid saya memang sudah ada beberapa nomor soal yang bisa dijawab oleh mereka. Biasanya seputar agama Islam seperti nama malaikat yang bertugas membagikan rejeki ataupun nama kitab-kitab Allah. Pada lomba pun yang bisa mereka jawab adalah soal-soal tersebut, sedangkan soal-soal yang lain sepertinya mereka lupa jawabannya apa.

Ada beberapa jawaban lucu yang terceletuk dari murid saya. Salah satunya jawaban Ical. Ketika ditanya “Apakah kepanjangan dari lembaga yang bernama KPK?”, murid saya terdiam sejenak, berpikir menerawang lalu menjawab “Kelipatan Persekutuan Terkecil!”. Dalam hati saya tertawa, sekaligus sedih, tertawa karena jawaban murid saya dan sedih karena dalam sudut pandang saya pertanyaan seperti ini belum saatnya anak-anak seusia mereka mengerti. Hal-hal seperti KPK bagi saya terlalu rumit untuk dijelaskan kepada anak-anak seusia mereka. Pertanyaan pun dilempar kepada tim C dan mereka bisa menjawabnya, saya pun tidak tahu apakah tim C hanya hafal kepanjangannya atau juga paham apa itu KPK.

Jawaban menyelekit lainnya adalah ketika Aidin murid SDN 27 Tatibajo di tim D menjawab pertanyaan “Apakah sebutan untuk tempat menjaga pada sistem keamanan keliling?”, dia menjawab “Pos Ronda”. Sebenarnya yang diharapkan panitia adalah jawaban “Pos Kamling”, tetapi menurut saya jawaban dia memiliki arti yang sama. Panitia pun membenarkan. Kenapa ini menjadi pertanyaan menyelekit bagi saya adalah karena kabupaten Majene adalah kabupaten paling aman yang pernah saya tinggali, wajar jika di sini jarang ada Pos Kamling, sehingga benda tersebut menjadi suatu hal yang abstrak bagi murid-murid di sini. Beruntung Aidin pernah tinggal di Sangata, Kalimantan, mungkin dia tahu dari tempat tinggal ia di sana.

Pada giliran selanjutnya peserta tim D dari SDN 10 bisa menjawab semua pertanyaan, bahkan ketika baru dua kata dari kalimat tanya dibacakan MC, mereka sudah bisa jawab. Saya tahu mereka pasti menghafal, karena jika tidak, mana mungkin pertanyaan-pertanyaan sulit bisa dijawab sebegitu mudahnya. Kami memang kalah telak, beda skor mencapai lebih dari 1500 dengan satu pertanyaan bernilai 100, tetapi saya pribadi bersyukur karena akhirnya saya tidak perlu menang pada kompetisi menghafal jawaban seperti ini. MC memang berkata setiap kali membuka amplop soal bahwa amplop tersegel, tetapi sepertinya kawan-kawan panitia lupa bahwa cerdas cermat itu untuk menguji wawasan siswa, bukan untuk menguji kemampuan siswa menghafal jawaban. Jangan sampai nilai-nilai negatif mencederai pendidikan anak-anak bangsa. Selalu hati-hati terhadap apa yang kita ajarkan kepada generasi masa depan Indonesia.

Read More

Rabu, 13 Maret 2013

Guru dari Gunung

Pak Juki adalah seorang guru berumur 40 tahun, tidak terhitung muda, tetapi juga belum terlalu tua. Pak Juki berasal dari Taukong, sebuah dusun yang berada di gunung. Bukan sekedar gunung, perjalanan ke sana bisa memakan waktu 8-12 jam jika berjalan kaki, tergantung dari stamina sang pejalan kaki. Sekarang pun, ketika jalan sudah ada dan orang ingin menggunakan motor menuju Taukong harus dilakukan berdua, karena kondisi jalan yang meminta sang pembawa motor untuk mendorong motornya sambil di-gas di beberapa titik perjalanan.

Sejak kecil Pak Juki memiliki keinginan belajar yang keras. Biasanya anak-anak gunung yang rajin belajar ketika masuk SMP akan dikirim ke Malunda, sebuah kecamatan yang berada di Jalan Raya Poros (Jalan Raya Trans-Sulawesi) dan titipkan pada orang yang tinggal di sana untuk bersekolah. Hal seperti ini pun dialami oleh Pak Juki, beliau merantau ke pinggir (sebutan lain untuk Jalan Raya Poros) meninggalkan dusun dan tinggal bersama orang lain untuk menempuh pendidikan di SMP.

Kini Pak Juki sudah mengenyam pendidikan hingga tamat S1 jurusan Pendidikan Guru SD dan sudah 15 tahun Pak Juki mengajar di tingkat Sekolah Dasar (SD). SDN 27 Tatibajo merupakan tempat Pak Juki bertugas saat ini, begitu pula dengan saya. Saat ini beliau adalah wali kelas 6 sementara saya mengajar Matematika di kelas 4,5, dan 6. Sebelum berada di Tatibajo, Pak Juki bekerja sebagai guru Matematika di SDN 10 Salutambung. Empat SD telah disambangi oleh beliau, tiga diantaranya adalah SD yang terletak di pinggir. Beberapa tahun terakhir Pak Juki sedang mengalami sakit lambung yang cukup membuat beliau kerepotan. Hal ini kemungkinkan disebabkan kesibukannya dalam bekerja yang sering membuatnya telat makan. Bukan hanya kerja sebagai guru yang membuat Pak Juki memiliki kesibukan yang tinggi, tetapi juga posisi sebagai bendahara penggajian guru sekecamatan Malunda dan Ulumanda.

Penyakit pencernaan kerap kali menjadi “wabah” karena adanya budaya memakan mi instan yang dengan air panas lalu diberikan bumbu. Mi di daerah Mandar (sebutan untuk daerah Sulawesi Barat) telah dianggap seperti sayur. Kalau tidak ada sayur menyiram mi pun jadi. Hipotesis saya sebagai orang awam menganggap budaya inilah yang menyebabkan banyak orang yang pencernaannya kurang sehat, karena seperti yang kita tahu jika mi hanya disiram akan masih banyak bahan pengawet yang tertinggal di kuahnya dan termakan oleh konsumen dari “masakan khas” Mandar tersebut.

Suatu saat sakit yang dimiliki oleh Pak Juki kambuh. Beberapa siswa di kelas enam bersikeras untuk mengunjungi. Padahal mereka tahu bahwa untuk ke rumah Pak Juki terletak di pinggir sehingga mereka harus berjalan sekitar 4 km atau sekitar 1 jam 30 menit. Namun, hujan deras yang diselimuti hawa dingin beberapa hari ini kerap mengunjungi dusun dan sepanjang jalan menuju jalan Poros sehingga memaksa kami menunda keberangkatan sampai keadaan cuaca membaik. Akhirnya di suatu sore yang lembab setelah hujan turun, saya dan tujuh orang siswa berangkat menuju pinggir. Kami berangkat pukul 16:30 WITA.

Pemandangan pegunungan sore hari dikelilingi hutan lebat dan jurang bersungai yang mengiringi sepanjang perjalanan kami menjadi suguhan perjalanan yang jarang sekali dinikmati orang kota seperti saya. Stamina anak-anak gunung memang tak pernah habis, 1 jam berlalu saya sudah mulai merasa ingin berhenti sejenak dan menenggak beberapa teguk air segar. Namun apa daya, saya lupa bawa air dan juga masih ingin menjaga imej bahwa saya masih kuat jalan. Haha, itulah repotnya jadi guru, jadi banyak jaim. Air terjun yang mengalir kecil akibat adanya hujan pada waktu sebelum kami berangkat turut menghiasi perjalanan kami. Akhirnya sesuai perkiraan waktu perjalanan, kami pun tiba di pinggir sekitar jam 18:00 WITA. Langit yang berwarna oranye, lampu-lampu rumah yang mulai menyala, serta azan Maghrib menyambut kami di pinggir.

Kami pun mengambil air wudhu untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah terlebih dahulu di masjid Ainul Yaqin, sebuah masjid yang terletak di pinggir. Sekedar pengetahuan tambahan, ada sebuah tantangan unik mengenai sanitasi di desa Salutambung, desa yang menjadi tempat berkembanganya dusun Tatibajo. Biasanya sebagus apapun masjid ataupun rumah belum tentu ada WC-nya. Termasuk di masjid ini. Padahal gedung masjidnya tidaklah buruk. Jika ada sebuah rumah yang ada WC-nya itu menandakan penghuninya adalah orang yang berpendidikan dan mengerti tentang pentingnya sanitasi yang baik. Apalagi di dusun, jangan ditanya orang buang air besar di mana, karena tak lain dan tak bukan hal tersebut dilakukan di WC terpanjang yang pernah saya lihat selama hidup saya alias sungai.

“Allahu Akbar!” takbirotul ihrom pun dikumandangkan sang Imam, saya dan anak-anak segera bergabung di barisan makmum. Selepas sholat maghrib kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Pak Juki. Rumah tersebut terletak sekitar 250 meter dari masjid tersebut. Sesampai di sana kami pun melemparkan salam dari depan pintu rumah ke dalam rumah “Assalamu’alaikum!” salam kami. Tak lama kemudian sesosok pria berbadan tidak begitu tinggi pun keluar. Senyumnya menyimpul ketika melihat kami dan langsung mempersilahkan kami untuk duduk di ruang tamunya. Sosok Pak Juki terlihat sudah lebih sehat jika dibandingkan beberapa hari lalu saya berkunjung ke rumahnya. Pada saat itu wajahnya masih pucat, tetapi kini sudah terlihat lebih segar.

Setelah saya berjabat tangan dengan Pak Juki serta anak-anak bergantian mencium tangan guru mereka, kami duduk di kursi ruang tamu. “Bagaimana Pak kabarnya?” tanyaku membuka pembicaraan, “Alhamdulillah sudah lebih baik” jawabnya. Sesaat kemudian istri dari Pak Juki yang juga seorang guru keluar menyapa kami, “Oh, ada murid-muridnya Pak Juki, dari Tatibajo naik apa ki?” tanya Bu Juki dengan dialek Makassar, “Kami berjalan kaki Bu” jawabku, “Wah jauh sekali itu, ya sudah kalau begitu, bermalam saja”, setelah sejenak berpikir, aku mengangguk menyetujui bermalam di sini karena murid-muridku pasti lelah dan tidak baik kembali ke dusun dalam keadaan gelap dengan berjalan kaki.

Orang Mandar memiliki ciri khas yang menurut saya istimewa. Selama berada di sini, kami para Pengajar Muda selalu disambut oleh masyarakat Mandar dengan keramahan yang luar biasa. Mereka sangat senang ketika rumah mereka dikunjungi oleh kami. Kunjungan ke rumah dalam bahasa di sini disebut dengan “singgah”. Jika kami singgah hampir menjadi suatu keharusan kami harus makan atau minimal minum di rumah tersebut. Termasuk di rumah Pak Juki, istri dari Pak Juki langsung melesat ke dapur dan sepertinya melihat mengatur strategi untuk menghidangkan makanan ke anak-anak gunung yang baru turun dari sarangnya.

Selepas adzan Isya, hindangan lengkap tersaji, ada ikan, mie goreng (makanan “khas” mandar), telur dadar, tempe, dan bakwan. Tempe merupakan makanan dengan kasta lebih tinggi daripada ayam, hal ini disebabkan masih sangat jarang orang yang bisa membuat tempe di bumi mandar. Anak-anak pun makan dengan lahapnya. Wajar saja penghasilan orang tua mereka tidak memungkinkan mereka memakan makanan mewah seperti yang sedang mereka nikmati sekarang. Setelah makan malam anak-anak asyik menonton TV. Ketiadaan listrik di dusun mereka, membuat mereka selalu antusias ketika ada TV menyala. Inilah keindahan silaturahim ala Mandar, bahagia itu sederhana bagi anak-anak gunung di bumi Mandar. Menonton TV setelah makan malam menjadi hal mewah nan membahagiakan.

Anak gunung dan guru dari gunung menurut saya kombinasi yang fantastis. Semoga semangat belajar sang guru dari gunung bisa menular ke anak-anak ini. Semoga saya bisa mengejar mereka dan membantu guru mereka semaksimal mungkin, sekaligus belajar pula dari kehidupan mereka. Ya, saya hanyalah anak kota yang hidup di dunia yang sangat nyaman dan sekarang sedang mencicipi kehidupan yang sebelumnya tak pernah saya jalani, kehidupan sebagai guru di gunung untuk anak-anak gunung yang penuh dengan bakat terpendam.

Sartika, Harianto, Aidin, Risma (Murid-murid kelas VI) sedang berpose di depan air terjun yang ada ketika baru selesai hujan di perjalanan ke Jalan Poros

Saya dan murid-murid kelas VI di perjalanan menuju Jalan Poros.
Berfoto di ruang tamu rumah Pak Juki. (Pak Juki sedang duduk di kursi memangku anaknya yang bernama Aco)

Read More

Selasa, 05 Februari 2013

Pergantian Pejuang

Matahari yang hangat menyambut datangnya hari Sabtu, 10 November 2012. Pak Arif Pengajar Muda angkatan 3 penempatan Majene berjalan dengan seluruh warga Tatibajo yang mengantarnya menuju jalan Poros. Sebuah jalan raya trans-Sulawesi yang menghubungkan kota-kota di Sulawesi Barat, termasuk Makassar, Mamuju dan tentu saja Majene. Jalan ini akrab disebut sebagai “pinggir”oleh warga dusun. Jalan yang jika dilalui dari Majene menuju Makassar memiliki tak sedikit lubang dan sedang diaspal ulang, akan mengantar salah satu sarjana terbaik bangsa kembali ke kampung halamannya.

Pemandangan indah pegunungan mengiringi perjalanan kami menuju ke pinggir. Angin sepoi sesekali menyapa warga yang sedang mengantar salah satu keluarga mereka selama satu tahun terakhir. Jalan bebatuan menjadi karpet merah yang bersaksi bahwa dalam waktu satu tahun banyak yang telah ditinggalkan oleh Pengajar Muda tersebut, tak terkecuali kenangan di dalam hati mereka. Sungai yang mengalir berbelok-belok seolah menonton iring-iringan manusia yang sedang berjalan ke bawah melalui jalan setapak berbatas jurang dan dinding pasir rawan longsor.

Dua belas bulan, bukan waktu yang terlalu lama tetapi cukup untuk menjadikan seorang manusia sebagai pusat pergerakan perubahan ke arah kebaikan di suatu daerah terpencil. Tempat Pengajian Al-Qur’an, Buku Tabungan Siswa, Rajinnya anak-anak dusun sholat lima waktu, berhasilnya mereka mengkhatamkan (menamatkan) bacaan Al-Quran, serta kekompakan orang tua dalam mengutus anaknya menuntut ilmu di sekolah adalah bukti keberadaan dua Pengajar Muda sebelumnya di dusun Tatibajo, desa Salutambung, kecamatan Ulumanda, provinsi Sulawesi Barat.

Langkah kaki semakin berat seiring dengan jarak berkilo-kilometer yang kami tempuh perlahan dengan menurun dan mendaki menuju pinggir. Tak terasa satu setengah jam kami lalui sampai akhirnya kami tiba di pinggir. Semua masih bersuka cita pada saat itu, kecuali ibu angkat kami (saya dan pengajar muda sebelumnya) yang sudah menangis sejak Pak Arif atau yang lebih sering saya sapa dengan mas Arif menata pakaian dan peralatannya ke dalam tas dan ransel yang akan ia bawa pulang. Sepanjang jalan saya melakukan “pendekatan” kepada anak-anak dusun Tatibajo dengan mengajak mereka menyanyikan lagu-lagu ceria.

Lagu yang pertama adalah lagu “Bermain Lingkaran”, yang liriknya,

Ayo kawan kita bermain lingkaran,
Mencari binatang yang ada di hutan,
Binatang apakah itu? binatang apakah itu?
Itu ular namanya

Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
(sembari kedua tangan dirapatkan dan menirukan cara ular melata ke kanan ke kiri)

Sepanjang jalan aku meminta mereka mengganti kata ular dengan kata yang lain, namun ternyata memang mereka masih harus dibimbing untuk mencari contoh binatang yang akan ditirukan geraknya pada lagu ini. Sesampai di pinggir kami masih harus berjalan ke rumah bu Haji, kakak pertama dari ayah angkat kami yang rumahnya tak jauh dari tempat kami turun di pinggir. Sekitar lima belas menit kami berjalan sebelum akhirnya sampai ke rumah bu Haji. Sesampai di sana sudah ada guru-guru SDN Inp 27 Tatibajo yang menanti untuk memberikan salam perpisahan. Namun tak lama kemudian Mas Arif masih harus bertemu dengan Mbak Vivi, pengajar muda penempatan dusun Rura yang letaknya tak jauh dari tempat kami jika ditempuh dengan sepeda motor.

Aku pun memutuskan untuk ikut bersama Mas Arif ke Tabojo, sebuah warung di dekat pertigaan jalan menuju dusun Rura. Cepat saja sampai kami sampai ke Tabojo. Tangis dan air mata sudah membanjiri mata warga Rura karena harus melepas Mbak Vivi, guru anak-anak mereka dan keluarga mereka selama satu tahun terakhir. Begitu pula ketika kami datang, beberapa rekan meminta berfoto bersama Mas Arif dengan harapan mereka tidak saling lupa satu sama lain setelah perpisahan yang terjadi hari ini.

Akhirnya kami pun kembali ke rumah Bu Haji. Episode yang sama terjadi ketika kami bersiap membawa barang-barang masuk ke dalam pete-pete (sebutan untuk angkutan umum di Majene), tangisan anak-anak Tatibajo pun “meledak” dan rencanaku dengan anak-anak untuk menyanyikan lagu perpisahan bagi Mas Arif gagal sudah. Bahkan terjadi lebih dari yang kami bayangkan, ibu angkat kami pingsan di teras rumah Bu Haji. Kami pun harus menunda keberangkatan sejenak dan Mas Arif membawa ibu ke dalam rumah Bu Haji. Sapaan dan goyangan tangan mas Arif berusaha membangunkan ibu dari ketidaksadaraannya. Warga sibuk ikut ingin melihat, “Tolong mundur sedikit! Mundur sedikit! Beri ruang udara!” seruku yang hanya bisa memperingatkan warga untuk memberikan ruang bagi ibu agar terdapat udara segar yang cukup di sana.

Ibu pun akhirnya terbangun, terlihat Mas Arif memberikan pengertian kepada Ibu agar dapat menenangkan Ibu yang sedang terkulai lemas karena anaknya akan pergi ke pulau seberang.  Sang pengajar muda ini pun berhasil meyakinkan Ibu. Mas Arif pun naik ke pete-pete dan lembaran perjuangan tentang pejuang yang baru pun akan segera dimulai. Optimisme yang kugenggam dari Pengajar Muda sebelumnya menjadi pasak bagi tiang perjalanan hidupku di dusun Tatibajo untuk mendidik anak-anak bangsa di dusun ini menjadi pemimpin masa depan. Diantara mereka terdapat potensi yang aku yakini akan membawa dusun ini kelak menjadi tempat yang lebih nyaman bagi warganya.

Kini giliranku yang membantu mendidik dan menyadari mutiara-mutiara bangsa bahwa mereka punya peluang untuk bersinar dan menerangi sekitar mereka. Kini giliranku yang belajar dari kehidupan masyarakat melalui kehidupan akar rumput. Ada satu doa yang kupanjatkan kepada Sang Pemilik milyaran galaksi di alam semesta ini, yakni memohon aku bisa mendapatkan kekuatan dan petunjuk dari-Nya agar dapat memberikan yang terbaik dan belajar dari kehidupanku selama empat belas bulan ke depan. Sungguh aku yakin, fase hidupku kali ini merupakan salah satu fase yang memiliki banyak hikmah dan pelajaran hidup bagiku.

Iringan warga dusun yang mengantar Mas Arif ke pinggir.

Cerita ini juga bisa dibaca di Website Indonesia Mengajar

Read More

Kamis, 03 Januari 2013

Malam Pertama

Dusun Tatibajo telah menerima pengajar muda yang ketiga sejak 5 November 2010. Sudah dua kali terhitung pengajar muda lama membonceng pengajar muda baru menggunakan sepeda motor di tengah hujan. 5 November 2012 kali ini pun hujan deras mengguyur daerah pegunungan Tatibajo dan memicu adanya tiga air terjun sepanjang perjalanan menuju dusun. Ketiga air terjun tersebut seakan sengaja menyapa kedatangan pengajar muda baru di dusun ini. Perjalanan licin diwarnai dengan beberapa kali ban motor terperosok lumpur dan mesin motor mati menjadi jamuan pertama dalam menempuh “karpet merah” yang terbuat dari tanah, batu dan jurang rawan longsor menuju dusun.

Hatiku cukup terperangah baru kali ini aku naik motor dengan medan semenantang ini. Aku diantar oleh pemuda menggunakan motor bebek buatan Jepang berwarna biru. Dia setiap minggunya sepanjang masa penempatan melewati jalan ini untuk berkordinasi, bersilaturahmi, dan memenuhi beberapa kebutuhannya di daerah pinggir (sebutan untuk Jalan Raya Poros, tempat pemukiman mayoritas guru di Kabupaten Majene). Dia adalah pengajar muda angkatan tiga atau pengajar muda kedua yang di tempatkan di dusun Tatibajo. Angkatan ganjil pada Indonesia Mengajar akan menggantikan angkatan ganjil yang sebelumnya berada di daerah penempatan.

Sesampainya di dusun, hari sudah gelap, sudah masuk waktu sholat Maghrib, kami pun masuk ke dalam rumah untuk mengambil wudu dan melaksanakan sholat Maghrib di mushola dusun. Aku pun bertanya kepada mas Arif (pengajar muda sebelumnya), “Mas kita ambil wudhu dimana?”, “ikut saya” jawabnya. Kami pun masuk ke rumah tempat tinggal host family (keluarga angkat) beliau yang juga menjadi keluarga angkatku di penempatan. Rumah ini memiliki sebuah “ruangan serba guna” tak berpintu yang berdinding kayu, beratapkan dedaunan besar. Di situ terdapat air yang ditampung dalam ember dan wadah bekas cat, air itulah yang kami ciduk menggunakan mangkuk untuk kobokan dan menjadi air wudhu kami.

Keadaan serba darurat seperti celana basah terkena genangan air hujan tidak menjadi alasan kami untuk tidak melaksanakan ibadah sebagai tanda syukur kami kepada Sang Esa atas segala nikmat yang Dia berikan termasuk selamatnya kami sampai ke dusun. Kami pun melaksanakan sholat Maghrib. Seusai sholat kami kembali ke rumah, terdengar obrolan bisik-bisik dan pandangan mata penasaran ke arahku dari seluruh warga yang berkumpul di rumah. Sepertinya seluruh warga benar-benar penasaran ingin berkenalan dengan seorang yang baru datang dari pulau seberang ini.

Masyarakat Tatibajo sangat menghormati tamu, mereka bersalaman dengan tamunya sambil bershalawat “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad”. Aku pun menyalami dengan hormat beberapa Bapak-Bapak di sana yang menyambutku di dalam rumah. Masyarakat berkerumun di dalam ruang rumah pada saat itu. Mas Arif pun mengenalkanku kepada masyarakat Tatibajo, “Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh”, “Wa’alaikumsalam warrahmatullahita’ala wabarokatuh” jawab warga serentak. “Hari ini telah datang adik saya yang bernama Muhamad Fajar dari Jawa yang akan menggantikan saya. Beliau ini berasal dari Jawa Barat, berbeda propinsi dengan saya yang berasal dari Jawa Tengah. Saya minta seluruh warga untuk menjaga adik saya ini selama di sini, karena bagaimanapun juga adik saya ini telah menjadi tanggung jawab kita semua di sini.“ Singkat beliau menjelaskan tentang saya sembari mempersaudarakan saya dengan dirinya di depan masyarakat Tatibajo.

Setelah menuturkan berbagai harapan dan permohonan bantuan kepada masyarakat akhirnya mas Arif memberikan saya kesempatan untuk berbicara. “Assalamu’alaikum Warrohmatullahi Wabarokatuh” salamku, “Wa’alaikumsalam warrahmatullahita’ala wabarokatuh” jawab warga serentak lagi. “Seperti yang telah dikatakan oleh Pak Arif, nama saya Muhamad Fajar, dipanggil Fajar, insya Allah saya akan berada di sini selama empat belas bulan, lebih dua bulan dari lamanya Pak Arif tinggal. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih karena Bapak dan Ibu sekalian telah menerima saya di sini. Saya juga mohon bantuan dan kerja sama dari Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu agar kita dapat bekerja sama mendidik anak-anak Tatibajo. Saya tentunya di sini tidak hanya akan mengajar tetapi juga akan banyak belajar dari Bapak dan Ibu sekalian tanpa terkecuali juga dengan anak-anak Tatibajo. Singkat saja dari saya, saya kembalikan ke Pak Arif. Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarokatuh”, begitulah penjelasan singkatku di awal perkenalan dengan warga.

Tak bisa dibohongi bahwa tubuhku terasa lelah karena perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan tersebut dimulai dari mendarat di Bandar Udara di Makassar disambung dengan perjalanan 8 jam menuju Majene. Setelah menjalani rapat transisi dengan pengajar muda sebelumnya di sana selama dua hari dua malam dan acara sambut lepas di kantor Bupati langsung disambung dua setengah jam perjalanan menuju jalan masuk ke dusun. Terakhir dengan motor bebek menjalani setengah jam semi-offroad menuju dusun. Rangkaian perjalanan itu pun membuat lelah tubuh ini. Mas Arif pun dapat melihat hal ini dan mempamitkan diri kami kepada masyarakat serta memintaku untuk istirahat di tempat tidur sementara beliau sibuk menuliskan surat perpisahan untuk murid-muridnya.

Malam pertama pun menjadi malam yang begitu berkesan. Pembicaraan warga dengan bahasa daerah Mandar gunung memang tidak kumengerti, tetapi terbaca keramahan mereka dari senyum yang mereka lemparkan kepadaku. Ada satu semangat baru di sini, semangat yang begitu sederhana kembali hadir di hatiku walau badan terasa sangat lelah. Semangat untuk memberikan kebermanfaatan. Semoga empat belas bulan ke depan diri ini bisa memberikan amal terbaik untuk murid-muridku dan untuk masyarakat dusun Tatibajo.

Cerita juga bisa dibaca di: Blog Pengajar Muda

Read More

Saya?!

Foto saya
Dipanggil Fajar. Sampai saat ini masih yakin terlahir untuk menjadi pemenang, walaupun saat ini saya masih amat jauh dari pribadi dan pengetahuan seorang pemenang. Saya harus terus belajar hingga benar - benar menjadi pemenang di dunia dan di akhirat bersama pemenang-pemenang lainnya. Alhamdulillah saat ini saya telah lulus dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Cita - cita : Menjadi seorang pemilik perusahaan IT Indonesia yang disegani di seluruh dunia, dan menjadi orang super kaya sehingga mampu membantu sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia! Hal ini tak akan bisa terwujud tanpa doa, dukungan dan kerja keras. Untuk itu mohon doanya juga dari para pembaca :D

Fajar's Personality

Click to view my Personality Profile page