Dusun Tatibajo telah menerima pengajar
muda yang ketiga sejak 5 November 2010. Sudah dua kali terhitung pengajar muda
lama membonceng pengajar muda baru menggunakan sepeda motor di tengah hujan. 5
November 2012 kali ini pun hujan deras mengguyur daerah pegunungan Tatibajo dan
memicu adanya tiga air terjun sepanjang perjalanan menuju dusun. Ketiga air
terjun tersebut seakan sengaja menyapa kedatangan pengajar muda baru di dusun
ini. Perjalanan licin diwarnai dengan beberapa kali ban motor terperosok lumpur
dan mesin motor mati menjadi jamuan pertama dalam menempuh “karpet merah” yang
terbuat dari tanah, batu dan jurang rawan longsor menuju dusun.
Hatiku cukup terperangah baru kali ini
aku naik motor dengan medan semenantang ini. Aku diantar oleh pemuda
menggunakan motor bebek buatan Jepang berwarna biru. Dia setiap minggunya
sepanjang masa penempatan melewati jalan ini untuk berkordinasi,
bersilaturahmi, dan memenuhi beberapa kebutuhannya di daerah pinggir (sebutan
untuk Jalan Raya Poros, tempat pemukiman mayoritas guru di Kabupaten Majene).
Dia adalah pengajar muda angkatan tiga atau pengajar muda kedua yang di
tempatkan di dusun Tatibajo. Angkatan ganjil pada Indonesia Mengajar akan
menggantikan angkatan ganjil yang sebelumnya berada di daerah penempatan.
Sesampainya di dusun, hari sudah gelap,
sudah masuk waktu sholat Maghrib, kami pun masuk ke dalam rumah untuk mengambil
wudu dan melaksanakan sholat Maghrib di mushola dusun. Aku pun bertanya kepada
mas Arif (pengajar muda sebelumnya), “Mas kita ambil wudhu dimana?”,
“ikut saya” jawabnya. Kami pun masuk ke rumah tempat tinggal host
family (keluarga angkat) beliau yang juga menjadi keluarga angkatku di
penempatan. Rumah ini memiliki sebuah “ruangan serba guna” tak berpintu yang
berdinding kayu, beratapkan dedaunan besar. Di situ terdapat air yang ditampung
dalam ember dan wadah bekas cat, air itulah yang kami ciduk menggunakan mangkuk
untuk kobokan dan menjadi air wudhu kami.
Keadaan serba darurat seperti celana basah
terkena genangan air hujan tidak menjadi alasan kami untuk tidak melaksanakan
ibadah sebagai tanda syukur kami kepada Sang Esa atas segala nikmat yang Dia
berikan termasuk selamatnya kami sampai ke dusun. Kami pun melaksanakan sholat Maghrib.
Seusai sholat kami kembali ke rumah, terdengar obrolan bisik-bisik dan
pandangan mata penasaran ke arahku dari seluruh warga yang berkumpul di rumah.
Sepertinya seluruh warga benar-benar penasaran ingin berkenalan dengan seorang
yang baru datang dari pulau seberang ini.
Masyarakat
Tatibajo sangat menghormati tamu, mereka bersalaman dengan tamunya sambil
bershalawat “Allahumma sholli ‘ala sayyidina Muhammad”. Aku pun
menyalami dengan hormat beberapa Bapak-Bapak di sana yang menyambutku di dalam
rumah. Masyarakat berkerumun di dalam ruang rumah pada saat itu. Mas Arif pun
mengenalkanku kepada masyarakat Tatibajo, “Assalamu’alaikum Warrohmatullahi
Wabarokatuh”, “Wa’alaikumsalam warrahmatullahita’ala wabarokatuh”
jawab warga serentak. “Hari ini telah datang adik saya yang bernama Muhamad
Fajar dari Jawa yang akan menggantikan saya. Beliau ini berasal dari Jawa
Barat, berbeda propinsi dengan saya yang berasal dari Jawa Tengah. Saya minta
seluruh warga untuk menjaga adik saya ini selama di sini, karena bagaimanapun
juga adik saya ini telah menjadi tanggung jawab kita semua di sini.“ Singkat
beliau menjelaskan tentang saya sembari mempersaudarakan saya dengan dirinya di
depan masyarakat Tatibajo.
Setelah menuturkan berbagai harapan dan
permohonan bantuan kepada masyarakat akhirnya mas Arif memberikan saya
kesempatan untuk berbicara. “Assalamu’alaikum
Warrohmatullahi Wabarokatuh” salamku, “Wa’alaikumsalam
warrahmatullahita’ala wabarokatuh” jawab warga serentak lagi. “Seperti yang
telah dikatakan oleh Pak Arif, nama saya Muhamad Fajar, dipanggil Fajar, insya Allah saya akan berada di sini
selama empat belas bulan, lebih dua bulan dari lamanya Pak Arif tinggal.
Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih karena Bapak dan Ibu sekalian
telah menerima saya di sini. Saya juga mohon bantuan dan kerja sama dari
Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu agar kita dapat bekerja sama mendidik anak-anak
Tatibajo. Saya tentunya di sini tidak hanya akan mengajar tetapi juga akan
banyak belajar dari Bapak dan Ibu sekalian tanpa terkecuali juga dengan
anak-anak Tatibajo. Singkat saja dari saya, saya kembalikan ke Pak Arif. Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi
Wabarokatuh”, begitulah penjelasan singkatku di awal perkenalan dengan
warga.
Tak bisa dibohongi bahwa tubuhku terasa
lelah karena perjalanan yang cukup panjang. Perjalanan tersebut dimulai dari mendarat
di Bandar Udara di Makassar disambung dengan perjalanan 8 jam menuju Majene. Setelah
menjalani rapat transisi dengan pengajar muda sebelumnya di sana selama dua
hari dua malam dan acara sambut lepas di kantor Bupati langsung disambung dua
setengah jam perjalanan menuju jalan masuk ke dusun. Terakhir dengan motor
bebek menjalani setengah jam semi-offroad
menuju dusun. Rangkaian perjalanan itu pun membuat lelah tubuh ini. Mas
Arif pun dapat melihat hal ini dan mempamitkan diri kami kepada masyarakat
serta memintaku untuk istirahat di tempat tidur sementara beliau sibuk
menuliskan surat perpisahan untuk murid-muridnya.
Malam
pertama pun menjadi malam yang begitu berkesan. Pembicaraan warga dengan bahasa
daerah Mandar gunung memang tidak kumengerti, tetapi terbaca keramahan mereka
dari senyum yang mereka lemparkan kepadaku. Ada satu semangat baru di sini,
semangat yang begitu sederhana kembali hadir di hatiku walau badan terasa
sangat lelah. Semangat untuk memberikan kebermanfaatan. Semoga empat belas
bulan ke depan diri ini bisa memberikan amal terbaik untuk murid-muridku dan
untuk masyarakat dusun Tatibajo.
Cerita juga bisa dibaca di: Blog Pengajar Muda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar