Selasa, 05 Februari 2013

Pergantian Pejuang

Matahari yang hangat menyambut datangnya hari Sabtu, 10 November 2012. Pak Arif Pengajar Muda angkatan 3 penempatan Majene berjalan dengan seluruh warga Tatibajo yang mengantarnya menuju jalan Poros. Sebuah jalan raya trans-Sulawesi yang menghubungkan kota-kota di Sulawesi Barat, termasuk Makassar, Mamuju dan tentu saja Majene. Jalan ini akrab disebut sebagai “pinggir”oleh warga dusun. Jalan yang jika dilalui dari Majene menuju Makassar memiliki tak sedikit lubang dan sedang diaspal ulang, akan mengantar salah satu sarjana terbaik bangsa kembali ke kampung halamannya.

Pemandangan indah pegunungan mengiringi perjalanan kami menuju ke pinggir. Angin sepoi sesekali menyapa warga yang sedang mengantar salah satu keluarga mereka selama satu tahun terakhir. Jalan bebatuan menjadi karpet merah yang bersaksi bahwa dalam waktu satu tahun banyak yang telah ditinggalkan oleh Pengajar Muda tersebut, tak terkecuali kenangan di dalam hati mereka. Sungai yang mengalir berbelok-belok seolah menonton iring-iringan manusia yang sedang berjalan ke bawah melalui jalan setapak berbatas jurang dan dinding pasir rawan longsor.

Dua belas bulan, bukan waktu yang terlalu lama tetapi cukup untuk menjadikan seorang manusia sebagai pusat pergerakan perubahan ke arah kebaikan di suatu daerah terpencil. Tempat Pengajian Al-Qur’an, Buku Tabungan Siswa, Rajinnya anak-anak dusun sholat lima waktu, berhasilnya mereka mengkhatamkan (menamatkan) bacaan Al-Quran, serta kekompakan orang tua dalam mengutus anaknya menuntut ilmu di sekolah adalah bukti keberadaan dua Pengajar Muda sebelumnya di dusun Tatibajo, desa Salutambung, kecamatan Ulumanda, provinsi Sulawesi Barat.

Langkah kaki semakin berat seiring dengan jarak berkilo-kilometer yang kami tempuh perlahan dengan menurun dan mendaki menuju pinggir. Tak terasa satu setengah jam kami lalui sampai akhirnya kami tiba di pinggir. Semua masih bersuka cita pada saat itu, kecuali ibu angkat kami (saya dan pengajar muda sebelumnya) yang sudah menangis sejak Pak Arif atau yang lebih sering saya sapa dengan mas Arif menata pakaian dan peralatannya ke dalam tas dan ransel yang akan ia bawa pulang. Sepanjang jalan saya melakukan “pendekatan” kepada anak-anak dusun Tatibajo dengan mengajak mereka menyanyikan lagu-lagu ceria.

Lagu yang pertama adalah lagu “Bermain Lingkaran”, yang liriknya,

Ayo kawan kita bermain lingkaran,
Mencari binatang yang ada di hutan,
Binatang apakah itu? binatang apakah itu?
Itu ular namanya

Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
Beginilah jalannya
(sembari kedua tangan dirapatkan dan menirukan cara ular melata ke kanan ke kiri)

Sepanjang jalan aku meminta mereka mengganti kata ular dengan kata yang lain, namun ternyata memang mereka masih harus dibimbing untuk mencari contoh binatang yang akan ditirukan geraknya pada lagu ini. Sesampai di pinggir kami masih harus berjalan ke rumah bu Haji, kakak pertama dari ayah angkat kami yang rumahnya tak jauh dari tempat kami turun di pinggir. Sekitar lima belas menit kami berjalan sebelum akhirnya sampai ke rumah bu Haji. Sesampai di sana sudah ada guru-guru SDN Inp 27 Tatibajo yang menanti untuk memberikan salam perpisahan. Namun tak lama kemudian Mas Arif masih harus bertemu dengan Mbak Vivi, pengajar muda penempatan dusun Rura yang letaknya tak jauh dari tempat kami jika ditempuh dengan sepeda motor.

Aku pun memutuskan untuk ikut bersama Mas Arif ke Tabojo, sebuah warung di dekat pertigaan jalan menuju dusun Rura. Cepat saja sampai kami sampai ke Tabojo. Tangis dan air mata sudah membanjiri mata warga Rura karena harus melepas Mbak Vivi, guru anak-anak mereka dan keluarga mereka selama satu tahun terakhir. Begitu pula ketika kami datang, beberapa rekan meminta berfoto bersama Mas Arif dengan harapan mereka tidak saling lupa satu sama lain setelah perpisahan yang terjadi hari ini.

Akhirnya kami pun kembali ke rumah Bu Haji. Episode yang sama terjadi ketika kami bersiap membawa barang-barang masuk ke dalam pete-pete (sebutan untuk angkutan umum di Majene), tangisan anak-anak Tatibajo pun “meledak” dan rencanaku dengan anak-anak untuk menyanyikan lagu perpisahan bagi Mas Arif gagal sudah. Bahkan terjadi lebih dari yang kami bayangkan, ibu angkat kami pingsan di teras rumah Bu Haji. Kami pun harus menunda keberangkatan sejenak dan Mas Arif membawa ibu ke dalam rumah Bu Haji. Sapaan dan goyangan tangan mas Arif berusaha membangunkan ibu dari ketidaksadaraannya. Warga sibuk ikut ingin melihat, “Tolong mundur sedikit! Mundur sedikit! Beri ruang udara!” seruku yang hanya bisa memperingatkan warga untuk memberikan ruang bagi ibu agar terdapat udara segar yang cukup di sana.

Ibu pun akhirnya terbangun, terlihat Mas Arif memberikan pengertian kepada Ibu agar dapat menenangkan Ibu yang sedang terkulai lemas karena anaknya akan pergi ke pulau seberang.  Sang pengajar muda ini pun berhasil meyakinkan Ibu. Mas Arif pun naik ke pete-pete dan lembaran perjuangan tentang pejuang yang baru pun akan segera dimulai. Optimisme yang kugenggam dari Pengajar Muda sebelumnya menjadi pasak bagi tiang perjalanan hidupku di dusun Tatibajo untuk mendidik anak-anak bangsa di dusun ini menjadi pemimpin masa depan. Diantara mereka terdapat potensi yang aku yakini akan membawa dusun ini kelak menjadi tempat yang lebih nyaman bagi warganya.

Kini giliranku yang membantu mendidik dan menyadari mutiara-mutiara bangsa bahwa mereka punya peluang untuk bersinar dan menerangi sekitar mereka. Kini giliranku yang belajar dari kehidupan masyarakat melalui kehidupan akar rumput. Ada satu doa yang kupanjatkan kepada Sang Pemilik milyaran galaksi di alam semesta ini, yakni memohon aku bisa mendapatkan kekuatan dan petunjuk dari-Nya agar dapat memberikan yang terbaik dan belajar dari kehidupanku selama empat belas bulan ke depan. Sungguh aku yakin, fase hidupku kali ini merupakan salah satu fase yang memiliki banyak hikmah dan pelajaran hidup bagiku.

Iringan warga dusun yang mengantar Mas Arif ke pinggir.

Cerita ini juga bisa dibaca di Website Indonesia Mengajar

2 komentar:

Fajrie mengatakan...

*mencoba menempatkan diri menjadi warga dusun*
sedih banget rasanya, kehilangan sosok yang diteladankan, dan mengharukan banget buat sang pengajar muda itu sendiri :')

slamat berjuang jar, iya iya gua dah doain lu jar :)

Anonim mengatakan...

fajaaaar...

Saya?!

Foto saya
Dipanggil Fajar. Sampai saat ini masih yakin terlahir untuk menjadi pemenang, walaupun saat ini saya masih amat jauh dari pribadi dan pengetahuan seorang pemenang. Saya harus terus belajar hingga benar - benar menjadi pemenang di dunia dan di akhirat bersama pemenang-pemenang lainnya. Alhamdulillah saat ini saya telah lulus dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia. Cita - cita : Menjadi seorang pemilik perusahaan IT Indonesia yang disegani di seluruh dunia, dan menjadi orang super kaya sehingga mampu membantu sebanyak-banyaknya rakyat Indonesia! Hal ini tak akan bisa terwujud tanpa doa, dukungan dan kerja keras. Untuk itu mohon doanya juga dari para pembaca :D

Fajar's Personality

Click to view my Personality Profile page